Seiring dengan digalakkannya pendidikan karakter, karakter itu sendiri mulai banyak dibicarakan dalam dunia pendidikan. Para ahli telah mendefinisikan beberapa pengertian dari karakter itu sesuai dengan kapabilitas keilmuan masing-masing.
Di bawah ini akan dijelaskan secara jelas apa pengertian dari karakter itu sendiri.
Menurut kamus umum bahasa Indonesia,
karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yag lain; tabiat; watak.
Berkarakter artinya mempunyai tabiat; mempunyai kepribadian;
watak (W. J. S Poerwadarminta. 1926: 669).
Hermawan Kertajaya mengemukakan bahwa karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah “asli” dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut. Dan merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar dan merespons sesuatu. Ciri khas inipun yang diingat oleh orang lain tentang orang tersebut dan menentukan suka atau tidak sukanya mereka terhadap sang individu. Karakter memungkinkan perusahaan atau individu mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan karena karakter memberikan konsistensi, integritas dan energi (M. Furqon Hidayatullah. 2010: 13).
Sedangkan menurut Hamka karakter adalah watak atau sifat, fitrah yang ada pada diri manusia. Sebagai contoh sederhana adalah kayu yang ada di hutan, yang masih berupa pohon-pohon adalah karakter. Sedangkan kayu yang sudah menjadi bangku, meja, lemari, dan sebagainya adalah komoditas. Pada hakikatnya semua adalah kayu hutan. Bedanya, kayu yang masih ada di hutan belum dicemari oleh gergaji, mesin, bahan atau zat kimia tertentu dan lain sebagainya. Sedangkan kayu yang sudah menjadi komoditas; meja, kursi, lemari dan sebagainya, sudah dikemas oleh “polesan dunia” berupa berbagai macam bentuk, desain, fungsi, dan zat kimia yang menempel pada kayu tersebut (Hamka Abdul Aziz. 2011: 73).
Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, sosial, emosional, dan etika. Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik (Victor Battistich. 2007)
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah karakter, diantaranya yaitu:
a. Karakter: watak atau sifat, fitrah yang ada pada diri manusia yang terikat dengan nilai hukum dan ketentuan tuhan. Bersemayam dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Tidak bisa berubah, meski apapun yang terjadi. Bisa tertutupi dengan berbagai kondisi (Hamka Abdul Aziz. 2011: 48).
b. Tabiat: sifat, kelakuan, perangai, kejiwaan seseorang yang bisa berubah-ubah karena interaksi sosial dan sangat dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan. Sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia yanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan (M. Furqon Hidayatullah. 2010: 11).
c. Adat: sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginan.
d. Kepribadian: tingkah laku atau perangai sebagai hasil bentukan dari pendidikan dan pengajaran baik secara klasikal atau non formal. Bersifat tidak abadi, karena selalu berhubungan dengan lingkungan (Hamka Abdul Aziz. 2011: 50).
e. Identitas: alat bantu untuk mengenali sesuatu. Sesuatu yang bisa digunakan untuk mengenali manusia.
f. Moral: ajaran tentang budi pekerti, mulia, ajaran kesusilaan. Moralitas adal adat istiadat, sopan santun, dan perilaku (Bambang Mahirjanto. 1995: 414).
g. Watak: sifat batin manusia yang mempengaruhi pikiran dan prilaku. Cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal0hal yang diupayakan hingga menjadi adat (Bambang Mahirjanto. 1995: 572).
h. Etika: ilmu tentang akhlak dan tata kesopanan; peradaban atau kesusilaan. Menurut Ngainum dan Achmad yaitu, Pertama; nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, merupakan “sistem nilai” yang bisa berfungsi dalam kehidupan seseorang atau kelompok sosial. Kedua; kumpulan asas atau nilai moral, atau kode etik. Ketiga; ilmu tentang baik dan buruk (Ngainun Naim dan Achmad Sauqi: 113).
i. Akhlak: budi pekerti atau kelakuan, dalam bahasa arab; tabiat, perangai, kebiasaan. Ahmada mubarok mengemukakan 2001; 14 mengemukakan bahwa akhlak adalah keadaaan batin seseorang yang menjadi seumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa memikirkan untung dan rugi.
j. Budi pekerti: perilaku, sikap yang dicerminkan oleh perilaku (M. Furqon Hidayatullah. 2010: 11). Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila;
jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi Insan Kamil
(Masnur Muslich. 2011: 84). Thomas lickona (1991) menyatakan pendidikan karakter by definition adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik. Jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Pengertian itu mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku (Ratna Megawangi. 2007: 82).
Sedangkan menurut Zaim Elmubarok (2008:102) Membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga “berbentuk” unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau “berkarakter” tercela). pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik dengan melibatkan seluruh komponen yang ada di sekolah (isi kurikulum, proses pembelajaran, kualitas hubungan, penanganan mata pelajaran, pelaksanaan kurikuler, dan etos seluruh lingkungan sekolah) agar mereka memiliki nilai-nilai karakater itu dalam dirinya dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka bisa menjadi Insan Kamil. Oleh karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945.
Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut.
Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia. Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal.
Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa. Membangun Karakter Peserta Didik Melalui Pendidikan Berkearifan Lokal Sejarah menunjukkan, masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja (untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku dan etnis di Indonesia), suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletan. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka.
Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya, mengeram visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai misal, keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi kejujuran dan seabreg nilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan demikian seterusnya.
Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu. Untuk itu, sebuah ketulusan, memang, perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk memulai. kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia Indonesia dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan sesamanya (tripita cipta karana).
Dan sebagai bangsa yang besar pemilik dan pewaris sah kebudayaan yang adiluhung pula, bercermin pada kaca benggala kearifan para leluhur dapat menolong kita menemukan posisi yang kokoh di arena global ini. Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun pendidikan karakter di sekolah? Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan kearifan lokal di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan siswa untuk mencintai daerahnya. Kecintaan siswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana. Terkait dengan pelaksanaan dan penanaman nilai/karakter di sekolah, lingkungan menjadi faktor penting dalam mengembangakan dan mengintegrasikan budaya karakter tersebut.
Masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan lokal sendiri. Sebagai contoh adalah suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris identik dengan kehalusan, dan etnis Cina terkenal dengan keuletan. Masing-masing daerah tersebut memiliki keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka. Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Budaya di suatu daerah dinilai baik, belum tentu menjadi baik di daerah lain yang berbeda kebudayaan, adat istiadat, kebiasaan dan cara pandangnya. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya yang telah dibangun oleh leluhur mereka.
Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Sebagai masyarakat yang beradab perlu tahu bahwa kita memiliki kekayaan budaya, terlepas dari perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebutnya. Kearifan lokal budaya itu berserakan dan tersebar luas dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Terutama ditemukan dalam bahasa daerah/ibu. Setiap kelompok masyarakat memiliki cara yang khas dalam mengungkapkan kandungan kearifan lokalnya, yang mencerminkan cara pandangnya tentang dunia. Kearifan lokal yang terkandung dalam bahasa daerah/ibu, memiliki makna yang sangat esinsial pada penggunaannya.
Bahasa yang dituturkan secara lisan dalam bahasa daerah/ibu berunsur siloka (makna yang tersampaikan/tersirat secara kiasan). Selain itu, budaya sikap dan perilaku yang dicerminkan pada budaya lokal akan melahirkan nilai-nilai positif yang sangat perlu dikembangkan, dilaksanakan dan dilestarikan sebagai kekuatan jati diri. Suatu misal, keterbukaan dikembangkan menjadi kejujuran dan segala aspek yang menjadinilai turunannya yang lain. Kehalusan diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus.
Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi; dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu. Ketulusan sebagai perangkat dan pekerjaan hati perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, kesombongan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai tingkatan perlu menjadi garda depan, bukan dalam ucapan, tapi dalam praksis konkret untuk memulai. Kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia Indonesia dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, alam sekitar, dan sesamanya.
Bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun pendidikan karakter di sekolah? maka jawabannya adalah perlu adanya revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan karakter secara berkelanjutan. Hal ini diasumsikan bahwa pendidikan karakter yang berkearifan lokal di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan peserta didik untuk mencintai daerahnya. Kecintaan peserta didik pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana. Dalam konteks tersebut di atas, kearifan lokal menjadi relevan.
Anak bangsa di negeri ini sudah sewajarnya diperkenalkan dengan lingkungan yang paling dekat di desanya, kecamatan, dan kabupaten, setelah tingkat nasional dan internasional. Melalui pengenalan lingkungan yang paling kecil, maka anak-anak kita bisa mencintai desanya.
Apabila mereka mencintai desanya mereka baru mau bekerja di desa dan untuk desanya. Kearifan lokal mempunyai arti sangat penting bagi anak didik kita. Nilai-nilai kerja keras, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah perlu diajarkan pada anak-anak kita. Dengan demikian, pendidikan karakter melalui kearifan lokal seharusnya mulai diperkenalkan oleh guru kepada para peserta didiknya.
Semua satuan pendidikan, peserta didiknya yang memiliki keberagaman ras maupun agama, dapat menjadi sasaran utama untuk penerapan pendidikan karakter. Proses interaksi yang melibatkan semua pihak dalam kearifan lokal sama saja mempelajari karakteristik dari materi yang dikaji sehingga peserta didik secara langsung dapat menggali karakter peristiwa kelokalan itu. Peserta didik dimatangkan kondisinya untuk menerima, memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai karakter yang diperolehnya di sekolah. Bagaimana dengan eksistensi kearifan lokal? Untuk hal ini perlu memahami pengertian dan esensi kearifan lokal itu sendiri.
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah dan semboyan hidup (Pikiran Rakyat, 4 Oktober 2004). Menurut kamus Inggris-Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Esensi dari kearifan lokal adalah nilai-nilai kebaikan, kebijaksanaan, kedewasaan memandang segala sesuatu hal dan kemampuan menerjemahkan secara baik setiap persoalan yang bertumpu pada budaya lokal. Bertolak dari pengertian dan esensi dari kearifan lokal tersebut, membangun pendidikan karakter disekolah melalui kearifan lokal sangatlah tepat. Hal ini dikarenakan pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi sehari-hari di lingkungan sekitar.
Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan keterampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah. Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi dan kebudayaan masing-masing daerah.
Kearifan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah tertentu. Para peserta didik yang datang ke sekolah tidak bisa diibaratkan sebagai sebuah gelas kosong, yang bisa diisi dengan mudah oleh ceret-ceret guru yang penuh air. Peserta didik telah memiliki bakat, minat dan kemampuan awal dan sudah membawa nilai-nilai budaya yang diserap dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
Dalam konteks ini, guru diharapkan mampu menyelipkan nila-nilai kearifan lokal mereka dalam proses pembelajaran. Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu sendiri.
PENUTUP
Membangun pendidikan karakter di sekolah melalui kearifan lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pendidikan. Esensi dari kearifan lokal adalah nilai-nilai kebaikan, kebijaksanaan, kedewasaan memandang segala sesuatu hal dan kemampuan menerjemahkan secara baik setiap persoalan yang bertumpu pada budaya lokal.
Membangun pendidikan karakter disekolah melalui kearifan lokal sangatlah tepat. Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi sehari-hari di lingkungan sekitar.
Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan keterampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah. Oleh karena itu pendidikan karakter yang berkearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal. Dalam konteks ini, guru diharapkan mampu menyelipkan nila-nilai kearifan lokal mereka dalam proses pembelajaran. Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu sendiri.
## SEMOGA BERMANFAAT
Anjeun hiji lalaki bisnis atawa awéwé? Anjeun dina naon baé stress finansial atanapi ngalakukeun nu peryogi dana pikeun ngamimitian up bisnis sorangan? Dupi anjeun gaduh skor kiridit lemah sareng anjeun nyungsi eta teuas pikeun ménta kecap injeuman ti bank lokal
BalasHapussarta institutes finansial séjén?
a) Personal injeuman, ékspansi Usaha.
b) Usaha Mimitian-up jeung Pendidikan.
c) Debt konsolidasi.
d) gajian Duit Hard.
Metoda kami nawarkeun maneh kasempetan nangtang jumlah injeuman diperlukeun na ogé durasi nu bisa mampuh ngalengkepan repayment injeuman kalawan laju dipikaresep of 2%. Ieu méré Anjeun kasempetan nyata pikeun meunangkeun dana nu peryogi. Ngalamar kabetot kedah ngalengkepan di handap
rinci: -
Formulir aplikasi *
Nami lengkep:
Jumlah Diperlukeun:
Injeuman Lilana:
penjajahan:
Panghasilan bulanan:
umur:
Alamat / Nagara:
Telepon Contact:
ngahubungan kami dinten langsung via: consumeraffairsloan@gmail.com
Awaiting Tanggapan anjeun
Salam,