Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh
Beberapa kali saya melihat orang yang secara tiba-tiba bersujud ketika mendengarkan bacaan ayat suci al-Qur`an tertentu. Sesekali saya ingin ikut melakukan sujud itu pula, tetapi masih bingung, sebenarnya sujud apakah itu dan apa yang harus dibaca ketika sedang bersujud?
Jawab :
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullahi wa Barakaatuh
Yang dimaksud bersujud ketika mendengar ayat-ayat al-Qur`an tertentu itulah yang dinamakan sujud tilawah. Yaitu sujud yang dilakukan ketika kita membaca atau mendengar ayat sajdah. Dilakukan dengan bertakbir dan bersujud, sesuai Hadits Rasulullah SAW, “Rasulullah membacakan al-Qur`an kepada kami, tatkala beliau melewati ayat sajdah beliau bertakbir dan bersujud, kami pun bersujud bersama beliau.” (Riwayat Abu Dawud)
Sujud tilawah memiliki keutamaan yang cukup besar, seperti disabdakan Rasulullah, “Apabila anak Adam membaca ayat sajdah lalu bersujud maka setan akan menyepi sembari menangis, ia berkata, ‘Sungguh celaka, anak Adam diperintahkan untuk bersujud dan ia pun bersujud, maka ia berhak mendapatkan surga, sedangkan aku diperintahkan untuk bersujud tetapi aku enggan, maka neraka yang jadi bagianku.” (Riwayat Muslim)
Sementara dalam Hadits lain dikatakan, “Tidak ada hamba yang bersujud sekali sujud kecuali Allah akan menaikkan derajatnya satu tingkat dan menghapuskan satu kesalahan darinya.”
Hukum sujud tilawah adalah Sunnah, seperti diperjelas Umar RA di dalam suatu riwayat ketika di atas mimbar Jumat ia membacakan surat An-Nahl, maka ketika sampai pada ayat sajdah ia berkata, “Wahai sekalian manusia, kita akan melewati ayat sujud, barangsiapa yang bersujud, ia benar dan barang siapa tidak bersujud, tidak ada dosa atas dirinya.” (Riwayat Bukhari)
Dalam pelaksanaan sujud tilawah, seseorang harus memenuhi beberapa syarat sah sebagaimana yang berlaku untuk shalat, seperti suci dari hadats (dengan wudhu dan mandi), suci dari najis (yakni suci badan, pakaian serta tempat sujud, berdiri, dan duduk), menutup aurat, menghadap kiblat, dan niat.
Begitu pula dalam tata cara pelaksanaannya, pun juga sama seperti sujud dalam shalat. Dengan diawali takbir, kemudian bersujud sambil bertasbih sebagaimana yang dilakukan dalam shalat. Selanjutnya disunnahkan berdoa. Salah satu doa yang bisa dibaca adalah, “Ya Allah, tuliskanlah pahala untukku di sisi-Mu dengan sujud ini, hapuskanlah satu dosa dariku dengannya, jadikanlah ia sebagai simpananku di sisi-Mu, terimalah ia dariku sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Dawud.” Setelah berdoa, barulah kemudian mengangkat kepala dari sujud sambil bertakbir, tanpa membaca tasyahud, namun langsung mengucapkan salam.* SUARA HIDAYATULLAH PEBRUARI 2013
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Kami pasangan muda yang baru saja menikah menurut agama (nikah sirri), kecuali bahwa saya belum mencatatkan pernikahan tersebut ke Kantor Urusan Agama (KUA) dan belum kami umumkan secara luas. Tujuan kami sederhana saja, kami ingin menghalalkan hubungan kami agar tidak terjerumus dalam maksiat.
Menurut Ustadz, apakah pernikahan kami merupakan solusi atau justru menjadi masalah?
Atas perhatiannya kami ucapkan jazakumullah.
JS
Di Solo
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Alhamdulillah, tidak banyak pasangan muda yang berpikir baik seperti Anda berdua. Anda termasuk pemuda yang masih takut melanggar syariat Allah yang saat ini banyak dilakukan kalangan muda-mudi, pacaran secara bebas. Mudah-mudahan Anda berdua digolongkan dalam tujuh kelompok yang akan mendapatkan perlindungan di saat tiada perlindungan kecuali dari Allah, yaitu pemuda yang berkata, “Aku takut kepada Allah, di saat tergoda wanita.”
Secara syariat, pernikahan Anda sudah sah selama syarat dan rukunnya terpenuhi, yaitu adanya wali, saksi, perempuan yang dinikahi, dan ijab qabul. Jika keempat rukun tersebut telah terpenuhi, maka Anda sah menjadi suami dan perempuan yang Anda nikahi menjadi istri.
Akan tetapi pernikahan itu baru sempurna jika Anda umumkan kepada khalayak ramai. Mengumumkan pernikahan melalui acara resepsi merupakan ajaran agama, hukumnya sunnah. Rasulullah SAW bersabda, “Laksanakan walimah walau hanya dengan menyembelih seekor kambing”. (Riwayat Bukhari). Beliau juga menegaskan,”Umumkan pernikahan, lakukan pernikahan di masjid, dan pukullah duff (sejenis alat musik pukul).” (Riwayat Ahmad, Hakim, dan Turmudzi)
Ketika secara diam-diam Abdurrahman bin Auf melaporkan kepada Rasulullah SAW bahwa dia telah menikahi seorang wanita, maka Rasulullah SAW menganjurkan agar dia menyelenggarakan sebuah walimah. Tujuan walimah sangat mulia, selain berbagi kebahagiaan dengan orang lain, juga menghindari fitnah. Dalam agama, menghindari fitnah itu sangat penting dan sangat dianjurkan.
Selain dianjurkan untuk mengadakan walimah, pernikahan akan lebih sempurna jika bersedia mencatatkan pernikahan tersebut kepada Kantor Urusan Agama (KUA). Tujuan pencatatan ini baik, yaitu untuk melindungi hak masing-masing pasangan, terutama istri. Siapa yang menjamin bahwa selama dalam pernikahan hubungan Anda selalu baik-baik saja? Risiko bubar selalu ada pada pasangan siapapun juga, termasuk Anda. Na’udzubillah, jika hal ini terjadi maka pihak istri yang sering menjadi korbannya.
Untuk itu, kami menganjurkan untuk segera mencatatkan pernikahan ke KUA, semata-mata untuk melindungi hak istri. Jika sudah berani menikah, maka harus pula berani menanggung segala risikonya, termasuk berani mengumumkan dan mencatatkan. Jangan ragu-ragu dan jangan menunda-nunda, karena hal tersebut sama pentingnya dalam upaya menyelamatkan keluarga. Pada awalnya pencatatan pernikahan itu semata-mata urusan duniawi, tapi karena tujuannya justru untuk melindungi masing-masing pasangan, maka hal tersebut menjadi masalah syar’i. Dalam hal ini berlaku kaidah fiqih saddan lidz-dzari’ah (menolak dampak negatif atau mudharat lebih didahulukan). Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan saling membahayakan.”
Mudah-mudahan keluarga Anda diberkahi Allah menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Amien. SUARA HIDAYATULLAH JULI 2012
Anak Durhaka Tanggung Jawab Siapa?
Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh
Saya orangtua dari delapan anak, semuanya telah menginjak usia dewasa. Alhamdulillah, semua anak saya telah berumah tangga, kecuali anak ketiga. Terus terang saya selalu bersedih setiap kali mengingat anak saya yang ketiga tersebut. Secara fisik ia laki-laki, tapi mentalitasnya perempuan. Lebih parah lagi sampai usia dewasa ini, ia belum menjalankan shalat secara baik.
Nasihat tak bosan-bosannya saya berikan, tapi sepertinya tidak ada hasilnya. Apakah di akhirat nanti saya dimintai pertanggungjawaban atas anak tersebut? Apakah saya disiksa atas perbuatannya?
SY
Jakarta
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullahi wa Barakatuh
Kami memahami perasaan Bapak yang pada saat ini telah memasuki usia senja. Di satu sisi Bapak bersyukur telah dapat mengantar kedelapan anak hingga memasuki usia dewasa dan masing-masing telah berkeluarga, tapi di sisi lain ada satu di antara mereka yang belum sesuai dengan harapan Bapak.
Jika Bapak telah mendidik anak-anak dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran Islam sejak usia dini, maka Bapak tidak perlu larut dalam kesedihan. Bapak telah terbebas dari tanggung jawab tersebut. Masing-masing individu akan menanggung perbuatannya sendiri. Seorang ayah tidak bisa menanggung akibat perbuatan anaknya, demikian sebaliknya.
Allah berfirman:
• •
“Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-Baqarah [2]: 134)
Memang , dalam sebuah Hadits disebutkan ada seseorang yang dicegat masuk surga karena keberatan anaknya. Sang anak yang durhaka mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sambil berkata: Allahumma anshifni min hadzal dzalim, fainnahu lam yurabbini (Ya Allah, aku meminta keadilan-Mu atas orangtua ini, karena dia tidak mendidikku di waktu kecil).
Orangtua yang tidak mendidik agama secara baik dan benar kepada anak-anaknya, melalui Hadits di atas hendaknya takut dan waspada, jangan-jangan kejadian yang sama akan menimpanya. Untuk itu segeralah bertobat kepada Allah dan jangan lupa mengingatkan kepada anaknya yang mungkin saat ini sudah menginjak usia dewasa agar menjalankan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada kata terlambat dalam urusan bertobat kepada Allah.
Sebaliknya, orangtua yang telah berusaha sungguh-sungguh mendidik anak-anaknya secara baik dan benar sejak usia dini, telah mengenalkan Allah secara baik dan benar, telah mengenalkan Islam secara baik dan benar, demikian juga telah mengenalkan al-Qur’an dan Muhammad, pembawanya secara baik dan benar, maka tak usah khawatir. Masing-masing individu Muslim akan bertanggung jawab atas diri mereka sendiri.
Jika anak-anak telah dididik secara baik dan benar, hingga menjadi anak saleh dan mereka mendoakan orangtuanya, maka pahalanya terus mengalir sebagai jariyah. Sedangkan jika ada salah satu anak tidak menjadi saleh, padahal mereka telah dididik secara baik dan benar sesuai dengan kemampuan orangtua, maka orangtua bisa berlepas tangan dari tanggung jawabnya.
Meskipun demikian, melalui jendela alam barzah masing-masing orangtua diperlihatkan perilaku anak-anaknya. Boleh jadi orangtua merasa risau atau dipermalukan di hadapan orang lain yang sama-sama telah meninggal dunia.
Dalam konteks ini, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah mempermalukan keluarga kamu yang telah wafat dengan keburukan amal perbuatan kamu.”* SUARA HIDAYATULLAH MEI 2012
Saya orangtua dari delapan anak, semuanya telah menginjak usia dewasa. Alhamdulillah, semua anak saya telah berumah tangga, kecuali anak ketiga. Terus terang saya selalu bersedih setiap kali mengingat anak saya yang ketiga tersebut. Secara fisik ia laki-laki, tapi mentalitasnya perempuan. Lebih parah lagi sampai usia dewasa ini, ia belum menjalankan shalat secara baik.
Nasihat tak bosan-bosannya saya berikan, tapi sepertinya tidak ada hasilnya. Apakah di akhirat nanti saya dimintai pertanggungjawaban atas anak tersebut? Apakah saya disiksa atas perbuatannya?
SY
Jakarta
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullahi wa Barakatuh
Kami memahami perasaan Bapak yang pada saat ini telah memasuki usia senja. Di satu sisi Bapak bersyukur telah dapat mengantar kedelapan anak hingga memasuki usia dewasa dan masing-masing telah berkeluarga, tapi di sisi lain ada satu di antara mereka yang belum sesuai dengan harapan Bapak.
Jika Bapak telah mendidik anak-anak dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran Islam sejak usia dini, maka Bapak tidak perlu larut dalam kesedihan. Bapak telah terbebas dari tanggung jawab tersebut. Masing-masing individu akan menanggung perbuatannya sendiri. Seorang ayah tidak bisa menanggung akibat perbuatan anaknya, demikian sebaliknya.
Allah berfirman:
• •
“Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-Baqarah [2]: 134)
Memang , dalam sebuah Hadits disebutkan ada seseorang yang dicegat masuk surga karena keberatan anaknya. Sang anak yang durhaka mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sambil berkata: Allahumma anshifni min hadzal dzalim, fainnahu lam yurabbini (Ya Allah, aku meminta keadilan-Mu atas orangtua ini, karena dia tidak mendidikku di waktu kecil).
Orangtua yang tidak mendidik agama secara baik dan benar kepada anak-anaknya, melalui Hadits di atas hendaknya takut dan waspada, jangan-jangan kejadian yang sama akan menimpanya. Untuk itu segeralah bertobat kepada Allah dan jangan lupa mengingatkan kepada anaknya yang mungkin saat ini sudah menginjak usia dewasa agar menjalankan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada kata terlambat dalam urusan bertobat kepada Allah.
Sebaliknya, orangtua yang telah berusaha sungguh-sungguh mendidik anak-anaknya secara baik dan benar sejak usia dini, telah mengenalkan Allah secara baik dan benar, telah mengenalkan Islam secara baik dan benar, demikian juga telah mengenalkan al-Qur’an dan Muhammad, pembawanya secara baik dan benar, maka tak usah khawatir. Masing-masing individu Muslim akan bertanggung jawab atas diri mereka sendiri.
Jika anak-anak telah dididik secara baik dan benar, hingga menjadi anak saleh dan mereka mendoakan orangtuanya, maka pahalanya terus mengalir sebagai jariyah. Sedangkan jika ada salah satu anak tidak menjadi saleh, padahal mereka telah dididik secara baik dan benar sesuai dengan kemampuan orangtua, maka orangtua bisa berlepas tangan dari tanggung jawabnya.
Meskipun demikian, melalui jendela alam barzah masing-masing orangtua diperlihatkan perilaku anak-anaknya. Boleh jadi orangtua merasa risau atau dipermalukan di hadapan orang lain yang sama-sama telah meninggal dunia.
Dalam konteks ini, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah mempermalukan keluarga kamu yang telah wafat dengan keburukan amal perbuatan kamu.”* SUARA HIDAYATULLAH MEI 2012
Najiskah Parfum Beralkohol?
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Sejak remaja saya adalah pengguna parfum beralkohol hingga sekarang, termasuk untuk shalat. Selain karena “suka”, wangi-wangian termasuk yang disukai Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wassalam.
Akhir-akhir ini kebiasaan saya terusik, karena menurut pendapat teman saya bahwa alkohol itu najis, yang karenanya bisa merusak keabsahan shalat. Terus terang, saya menjadi ragu, dan dalam keraguan tersebut saya memilih tidak memakai parfum. Mohon maaf, saya tidak beralih memakai parfum non alkohol yang “aroma” nya cencerung “kuat”, dan menyengat.
Mohon dijelaskan masalah ini. Terimakasih.
AS
Jakarta
Wa’alaikum Salam warahmatullahi wabarakaatuh
Kami setuju dengan sikap saudara yang memilih untuk meninggalkan segala yang masih meragukan. Sikap tersebut sesuai dengan anjuran Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam
دع ما يريبك الى ما لا يريبك
” Tinggalkanlah Sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” ( HR. Tirmudzi dan Dishahihkan oleh Nasa’i dan Ibnu Hibban dari Hadist Hasan bin Ali)
Untuk menghilangkan keraguan tersebut saudara bertanya dalam forum ini, mudah-mudahan saudara mendapat jawaban yang memuaskan, sehingga hilang keraguan tersebut.
Menurut jumhur Ulama madzahibul arba’ah (Empat Madzhab), semua jenis khomr, termasuk di dalamnya alkohol adalah najis, sebagaimana firman Allah,” Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya (meminum) khamr (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Ma-idah: 90)
Sementara menurut Ulama lain, seperti Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut pandangan mereka, alkohol dan khomr tidaklah najis, demikian juga parhum yang dicampur dengan alkohol karena tidak ada dalil yang sharih dan shahih yang tegas-tegas menjadikannya najis.
Ulama yang tidak menajiskan khomr dan alkohol menguatkan pendapatnya dari peristiwa saat diharamkannya khomr. Pada saat itu para sahabat menumpahkan persediaan khomrnya di jalan-jalan Madinah. Seandainya khomr itu najis maka para sahabat tidak akan menumpahkan khomr di jalan-jalan, dan Rasulullah pasti menegurnya sebagaimana beliau menegur mereka buang hajat di jalan-jalan. Ini menunjukkan bahwa Khomr dan alkohol itu “suci”, tidak najis.
Kata “Rijs” dalam ayat di atas, menurut pendapat Ulama yang menghukumi suci, bersifat “hukmiyah” sebagaimana najisnya orang-orang musyrik dalam ayat berikut ini,”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjidil haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28)
Menyentuh atau tersentuh orang musyrik tidak menyebabkan kulit atau pakaian kita menjadi “mutanajis” yang mengharuskan kita untuk mensucikannya, karena yang dimaksudkan “najis” dalam ayat ini adalah “hukmiyah”, bukan “hissiyah”(fisik). Demikian halnya dengan alkohol.
Selain itu, alkohol yang digunakan untuk konsumsi (minuman) berbeda dengan alkohol yang dipakai untuk campuran parfum, penyucian alat-alat kedokteran, berbagai operasi, dan kegunaan yang lain. Jika untuk dikomsumsi itu jenis, yang efeknya dapat memabukkan dan kecanduan, sementara alkohol untuk campuran parfum dan alat kedokteran itu berjenis, yang kalau diminum dapat mematikan.
Kesimpulannya, alkohol yang didigunakan untuk minuman, dalam hal ini masuk dalam kategori Khomr itu berbeda dengan alkohol untuk campuran parfum. Sama-sama alkohol tapi jenis dan fungsinya berbeda. Oleh karenanya, berbeda pula pendekatan hukumnya.
Terakhir, menurut Fatwa Al-Azhar, dalam bab Parfum, juz 8 halaman 413, barangsiapa yang terkena parfum (baik disengaja maupun tidak disengaja, pen), baik mengenai badannya, pakaiannya, maupun lainnya maka tidaklah ia wajib mandi dan shalatnya sah. Wallahu a’lam bish-shawab. SUARA HIDAYATULLAH APRIL 2012
Sejak remaja saya adalah pengguna parfum beralkohol hingga sekarang, termasuk untuk shalat. Selain karena “suka”, wangi-wangian termasuk yang disukai Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wassalam.
Akhir-akhir ini kebiasaan saya terusik, karena menurut pendapat teman saya bahwa alkohol itu najis, yang karenanya bisa merusak keabsahan shalat. Terus terang, saya menjadi ragu, dan dalam keraguan tersebut saya memilih tidak memakai parfum. Mohon maaf, saya tidak beralih memakai parfum non alkohol yang “aroma” nya cencerung “kuat”, dan menyengat.
Mohon dijelaskan masalah ini. Terimakasih.
AS
Jakarta
Wa’alaikum Salam warahmatullahi wabarakaatuh
Kami setuju dengan sikap saudara yang memilih untuk meninggalkan segala yang masih meragukan. Sikap tersebut sesuai dengan anjuran Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam
دع ما يريبك الى ما لا يريبك
” Tinggalkanlah Sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” ( HR. Tirmudzi dan Dishahihkan oleh Nasa’i dan Ibnu Hibban dari Hadist Hasan bin Ali)
Untuk menghilangkan keraguan tersebut saudara bertanya dalam forum ini, mudah-mudahan saudara mendapat jawaban yang memuaskan, sehingga hilang keraguan tersebut.
Menurut jumhur Ulama madzahibul arba’ah (Empat Madzhab), semua jenis khomr, termasuk di dalamnya alkohol adalah najis, sebagaimana firman Allah,” Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya (meminum) khamr (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Ma-idah: 90)
Sementara menurut Ulama lain, seperti Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut pandangan mereka, alkohol dan khomr tidaklah najis, demikian juga parhum yang dicampur dengan alkohol karena tidak ada dalil yang sharih dan shahih yang tegas-tegas menjadikannya najis.
Ulama yang tidak menajiskan khomr dan alkohol menguatkan pendapatnya dari peristiwa saat diharamkannya khomr. Pada saat itu para sahabat menumpahkan persediaan khomrnya di jalan-jalan Madinah. Seandainya khomr itu najis maka para sahabat tidak akan menumpahkan khomr di jalan-jalan, dan Rasulullah pasti menegurnya sebagaimana beliau menegur mereka buang hajat di jalan-jalan. Ini menunjukkan bahwa Khomr dan alkohol itu “suci”, tidak najis.
Kata “Rijs” dalam ayat di atas, menurut pendapat Ulama yang menghukumi suci, bersifat “hukmiyah” sebagaimana najisnya orang-orang musyrik dalam ayat berikut ini,”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjidil haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28)
Menyentuh atau tersentuh orang musyrik tidak menyebabkan kulit atau pakaian kita menjadi “mutanajis” yang mengharuskan kita untuk mensucikannya, karena yang dimaksudkan “najis” dalam ayat ini adalah “hukmiyah”, bukan “hissiyah”(fisik). Demikian halnya dengan alkohol.
Selain itu, alkohol yang digunakan untuk konsumsi (minuman) berbeda dengan alkohol yang dipakai untuk campuran parfum, penyucian alat-alat kedokteran, berbagai operasi, dan kegunaan yang lain. Jika untuk dikomsumsi itu jenis, yang efeknya dapat memabukkan dan kecanduan, sementara alkohol untuk campuran parfum dan alat kedokteran itu berjenis, yang kalau diminum dapat mematikan.
Kesimpulannya, alkohol yang didigunakan untuk minuman, dalam hal ini masuk dalam kategori Khomr itu berbeda dengan alkohol untuk campuran parfum. Sama-sama alkohol tapi jenis dan fungsinya berbeda. Oleh karenanya, berbeda pula pendekatan hukumnya.
Terakhir, menurut Fatwa Al-Azhar, dalam bab Parfum, juz 8 halaman 413, barangsiapa yang terkena parfum (baik disengaja maupun tidak disengaja, pen), baik mengenai badannya, pakaiannya, maupun lainnya maka tidaklah ia wajib mandi dan shalatnya sah. Wallahu a’lam bish-shawab. SUARA HIDAYATULLAH APRIL 2012
0 komentar:
Posting Komentar