MENGUPAYAKAN HIDAYAH DAN MENINGGALKAN KESESATAN
”saya sering ingin berhenti dari ’pekerjaan’ saya tapi saya belum dapat
hidayah…”. Demikian jawaban seorang perempuan yang rela menjual diri
(baca menjadi WTS) saat diajak untuk bertaubat dan berhenti dari maksiat
yang dia lakukan. Jawaban atau anggapan serupa juga banyak diyakini
oleh umat Islam. Mereka mencoba membenarkan pendapatnya dengan
mengatakan Nabi SAW saja tidak dapat memberi hidayah kepada pamannya Abu
Thalib, Nabi Nuh tidak berhasil mengajak istrinya menjadi pengikut
agama tauhid yang beliau bawa, dan seterusnya.
Benarkah bahwa manusia tidak memiliki peran atau andil sama sekali untuk
mengapai hidayah? Benarkah bahwa manusia ’dipaksa’ oleh Allah SWT untuk
meniti jalan hidayah maupun jalan kesesatan? Bagaimana mengkompromikan
ayat-ayat al quran yang seakan bertentangan tentang persoalan hidayah
dan kesesatan? Risalah ringkas ini memberi jawaban atas sejumlah
pertanyaan di atas. Semoga Allah memberi kita kemudahan untuk memahami
dan mengamalkan yang kita pahami. Amiin ya mujibassailiin.
Pengertian Hidayah dan Kesesatan
Hidâyah berasal dari kata hadâ–yahdî–hud[an] wa hady[an] wa hidy[an] wa
hidâyat[an]. Hudâ dan hidâyah secara bahasa artinya ar-rasyâd
(bimbingan/tuntunan) wa ad-dalâlah (petunjuk). Juga dikatakan, hadaytuhu
ath-tharîqa wa al-bayta hidâyat[an], artinya ‘arraftuhu (aku
memberitahunya). Manurut al-Azhari di dalam Tahdzîb al-Lughah menukil
Abu al-‘Abbas dari Ibn al-A’rabi dan menurut Ahmad bin Muhammad
al-Fayumi di dalam Mishbâh Al-Munîr, hidâyah juga berarti al-bayân
(penjelasan). Dengan demikian, hidâyah secara bahasa artinya bimbingan,
penerangan, petunjuk dan penjelasan.
Al-Hudâ atau al-hidâyah juga adalah lawan dari adh-dhalâl (kesesatan).
Secara ‘urf, adh-dhalâl adalah penyimpangan dari jalan yang bisa
mengantarkan pada tujuan yang diinginkan, atau penyimpangan dari jalan
yang seharusnya. Karena itu, al-hudâ atau al-hidâyah secara ‘urf bisa
diartikan sebagai jalan yang bisa mengantarkan pada tujuan yang
diinginkan, atau jalan yang seharusnya.
Secara syar’i jalan yang dimaksud adalah jalan yang benar (tharîq
al-haqq) dan jalan yang lurus (tharîq al-mustaqim), yaitu Islam dan
keimanan terhadapnya. Dengan demikian, secara syar’i, al-huda atau
al-hidâyah adalah mendapat petunjuk atau terbimbing pada Islam dan
beriman terhadapnya. Sedangkan adh-dhalâl (kesesatan) menurut syara’
adalah melenceng dari Islam (Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam
Syakhshiyyah Islamiyah 1/98). Sebagaimana hadist dari Abu Bashrah Al
Ghifari Nabi saw bersabda:
سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَرْبَعًا فَأَعْطَانِي ثَلَاثًا
وَمَنَعَنِي وَاحِدَةً سَأَلْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يَجْمَعَ
أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ فَأَعْطَانِيهَا
"Aku meminta kepada Rabbku Azza wa Jalla empat perkara, lalu Dia
memberiku tiga perkara dan menolak satu perkara; aku meminta kepada
Rabbku agar umatku tidak bersepakat atas kesesatan lalu Dia
mengabulkannya (HR. Ahmad no. 25966)
Mengupayakan Hidayah dan menghindarkan Kesesatan
Terdapat banyak ayat dalam al qur’an yang menegaskan bahwa hanya Allah
SWT sajalah yang memiliki ororitas (wewenang) untuk memberi hidayah.
Diantaranya adalah firman Allah berikut:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ
يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang
kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk. (QS. Al qashash [28]: 56)
Sebab turunnya ayat di atas adalah pada saat Abu Thalib menjelang
sakaratul maut, maka Nabi saw memintanya agar beriman dan masuk Islam
dengan mengucap kalimat la ilaha illallah. Abu Thalib kemudian menjawab:
“ Seandainya aku tidak takut wanita-wanita Quraisy akan mencelaku dan
mengatakan bahwa aku telah beriman karena terpaksa, tentu aku akan
mengucapkanya. (Imam as Suyuthi dalam Lubabun nuqul fi asbabin nuzul
hal. 150). Dalam riwayat az Zuhri sebagaimana yang dikutip Imam Ibnu
Katsir pada saat itu petinggi-petingi Quraisy seperti Abu Jahal dan
Abdullah bin Abu Umayyah menghalangi abu Thalib untuk menerima kesaksian
Nabi saw tersebut (Tafsirul quranil adhim 6/246)
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa hanya Allah sajalah yang
member hidayah. Ini berarti bahwa seseorang tidak memperoleh hidayah
dari dirinya, melainkan (jika) Allah memberinya hidayah maka ia
mendapatkan hidayah. Dan jika Allah menyesatkannya maka ia (pasti)
sesat. Namun demikian bukan berarti bahwa manusia tidak memiliki andil
dan usaha untuk mengapai hidayah tersebut. Setidaknya terdapat dua
alasan yang menunjukan bahwa manusia juga memiliki peran dalam meraih
petunjuk sekaligus menghindari dhalal (kesesatan).
Alasan pertama, adalah terdapat sejumlah ayat yang menisbatkan hidayah,
kesesatan dan penyesatan kepada hamba. Diantaranya adalah firman Allah:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ
النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat
dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ? (QS.
Al an’am [6]: 144)
Alasan kedua, banyak ayat menyatakan bahwa Allah memberikan pahala
kepada orang yang mendapat petunjuk dan menjatuhkan siksa kepada orang
yang tersesat serta menghisab perbuatan manusia. Apabila pelangsungan
hidayah dan kesesatan dinisbatkan kepada Allah, artinya Allah yang
memaksa manusia untuk mendapat hidayah atau tersesat, lalu Allah
menimpakan siksa kepada orang yang tersesat dan menyiksa orang kafir,
fasik, munafik dan pelaku maksiyat. Ini jelas merupakan kezaliman.
Mahasuci Allah dari yang demikian, sekali-kali Dia tidaklah menzalimi
hamba-Nya. Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا
رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka
(dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu
menganiaya hamba-hambaNya. (QS. Al Fushilat [41]: 46).
Kesimpulannya dengan menghimpun ayat-ayat tentang hidayah dan kesesatan,
dan memahaminya secara tasyrî’i, akan tampak jelas bahwa makna
ayat-ayat itu bukanlah penisbatan hidayah dan kesesatan dari sisi
melangsungkan hidayah dan kesesatan, tetapi maksudnya adalah penisbatan
dalam hal penciptaan. Artinya, Allah sajalah yang menciptakan hidayah
dan kesesatan itu. Namun, penciptaan itu bukan berarti paksaaan dari
Allah kepada hamba untuk mendapat petunjuk atau tersesat. Pemahaman ini
akan semakin jelas jika kita memahami macam-macam petunjuk (hidayah).
Jenis-jenis Hidayah
Di dalam al-Quran, kata hadâ dan turunannya dinyatakan sebanyak 316 kali
di 96 surat. Dari semua ayat itu bisa disarikan, hidayah yang diberikan
oleh Allah kepada manusia di dunia ada tiga macam. Pertama: Hidâyah
al-Khalq (hidayah penciptaan). Intinya, Allah telah menciptakan dalam
diri manusia secara built in adanya fitrah berupa gharîzah at-tadayyun
(naluri beragama), kebutuhan dan pengakuan kepada al-Khâliq; dan
qâbiliyah (kesediaan) untuk cenderung pada kebaikan maupun keburukan (QS
al-Balad: 10; asy-Syams: 7-8). Allah juga menciptakan akal atau
kemampuan berpikir untuk memahami dan membedakan yang baik dari yang
buruk. Orang yang tidak memperoleh hidayah jenis ini, yaitu orang yang
tidak sempurna atau tidak waras akalnya, tidak akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah.
Kedua: Hidâyah al-Irsyâd wa al-Bayân (hidayah petunjuk/bimbingan dan
penjelasan), yaitu berupa penjelasan, petunjuk dan bimbingan yang
diberikan Allah dengan risalah yang dibawa oleh Rasul. Di dalamnya
terdapat penjelasan tentang keimanan dan kekufuran, kebaikan dan
keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk akan jalan hidup yang
diridhai Allah dan yang tidak, serta akibat dari masing-masingnya baik
di dunia maupun diakhirat. Di sinilah al-Quran disebut petunjuk dan
Rasul adalah orang yang memberi petunjuk (QS asy-Syura: 52; ar-Ra’d: 7);
yaitu yang menyampaikan risalah, menjelaskannya dan menuntun serta
membimbing ke jalan Allah.
Ketiga: Hidâyah at-Tawfîq (Hidayah Taufik). Tawfîq (taufik) kepada
hidayah hanya berasal dari Allah (QS Hud: 88). Hidayah taufik inilah
yang dinafikan dari Rasul saw. (QS al-Qashash: 56). Taufik itu bukanlah
penciptaan hidayah dari tidak ada menjadi ada dalam diri manusia. Taufik
kepada hidayah itu adalah penyiapan sebab-sebab hidayah untuk manusia.
Taufik berkaitan dengan sebab-sebab hidayah, atau sifat-sifat hidayah,
yang jika seseorang menyifati diri dengannya maka ia akan mendapat
petunjuk (hidayah). Allah tidak memberikan taufiknya secara paksa kepada
manusia; melainkan ketika manusia sudah menerima hidâyah al-khalq,
menggunakan gharîzah tadayun-nya dan menggunakan akalnya; lalu sampai
padanya hidâyah al-irsyâd wa al-bayân melalui Rasul, pewaris Rasul, kaum
Muslim atau sarana lainnya; kemudian ia memahaminya dan menerima hujah
risalah itu, maka Allah akan memberinya taufik dan memudahkannya
memahami hidayah dan mengambilnya dan hidup dengannya. Allah SWT
berfirman:
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
Orang-orang yang mencari petunjuk, Allah menambah mereka petunjuk dan
memberi mereka (balasan) ketakwaannya (QS Muhammad [47]: 17).
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (QS al-‘Ankabut [29]:
69).
Ketika seseorang berusaha mencari dan menjemput hidayah, Allah
memberinya taufik sehingga ia mendapat hidayah. Dalam hal ini, Allah SWT
tidak memaksa seseorang untuk mendapat hidayah. Allah juga tidak
memaksa seseorang untuk sesat. Tidak ada orang yang dari sono-nya
ditakdirkan mendapat hidayah atau sebaliknya, tersesat. Dalam kaitan
inilah kita diperintahkan untuk berdoa agar diberikan hidayah berupa
taufik sebagaimana ayat yang senantiasa kita baca dalam surah al
fatihah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. Al Fatihah [1]: 6)
Maksudnya, mudahkanlah kami untuk memperoleh petunjuk, yakni
lapangkanlah bagi kami sebab-sebab meraih hidayah.
Diantara sebab-sebab yang menghantarkan datangnya hidayah (taufik)
adalah sebagai berikut: bertauhid kepada Allah dan tidak menyekutukannya
dengan sesuatu apapun, menjalankan yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan
dan menjauhi larangan, bertaubat kepada Allah, berikat pada tali agama
Allah (al qur’an), beramal ikhlas semata karena Allah, berdoa dengan
sungguh-sungguh, bersungguh-sungguh menjalankan ketaatan, menjauhi
kemaksiatan, sabar dalam ketaatan dan menjauhi kemungkaran, serta
memperbanyak mengingat Allah (dzikrullah) baik dalam perkataan dan
perbuatan (Syaikh Abdurrahman bin Abdullah as-sahiim dalam muhadharah
thariqil hidayah hal. 7-11). Mencermati sebab-sebab datangnya taufik di
atas maka penerapan syariat Islam secara total di bawah naungan
institusi politik penegaknya yakni khilafah jelas juga menjadi sebab
datangnya taufik dari Allah. Karena dengan khilafah orang akan terjaga
akidahnya, terjaga ketaatannya dan seterusnya. Maka benarlah pernyataan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa imamah (khilafah)
adalah seutama-utama sarana pendekatan diri kepada Allah.
Wallahu ‘alam bi shawab. Allâhumma ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm, wa mâ
tawfîqî illâ biLlâh. (Abu Syamil.Tulisan ini merupakan bahan untuk
buletin al iman yang yang didistribusikan khusus bagi pengungsi letusan
gunung merapi. semoga bermanfaat
0 komentar:
Posting Komentar