Kamis, 01 Mei 2014

KEJUJURAN,BAROKAH DAN SEPUTAR WANITA

Istri Shalihah dan Buah Kejujuran

 


Di kota Makkah ada seorang laki-laki fakir yang memiliki istri shalihah. Suatu saat si istri berkata kepada suaminya
, “Kita tak memiliki suatu apapun (untuk dimakan).”
 Lantas lelaki itu keluar ke Tanah Haram. Sampai akhirnya ia menemukan kantong berisi uang sebanyak 1.000 dinar. Dengan perasaan senang lelaki itu memberitahukan kepada istrinya. Namun si istri tidak senang sama sekali, si istri malah berkata, “Temuan Tanah Haram harus kita umumkan (tidak boleh diambil).” Spontan lelaki itu keluar untuk mengumumkan apa yang ditemukannya.

Ketika hendak mengumumkan barang temuannya itu, ia mendengar ada pengumuman yang menyatakan bahwa seseorang sedang mencari kantong hilang dengan isi 1.000 dinar. Dengan penuh kemantapan, tanpa memikirkan keadaan keluarga di rumah, si laki-laki ini memberikan barang temuannya kepada si pemilik.
“Ambillah 9.000 dinar ini,” kata orang yang mengumumkan tanpa mengambil uang  yang 1.000 dinar. “Apakah kamu mengejekku?”

“Tidak, demi Allah! Ketahuilah, bahwa ada seorang laki-laki dari Irak telah memberiku uang sebanyak 10.000 dinar, dan ia berkata kepadaku, ‘Buanglah yang 1.000 dinar ke tanah haram, kemudian umumkanlah.

Jika si penemu mengembalikan maka berikan semuanya. Karena ia termasuk orang yang bisa dipercaya. Sebab orang yang amanah tidak hanya memakannya tapi juga mensedekahkannya, maka sedekah kita akan diterima sebab amanahnya.’”


Ibu adalah Sekolahmu yang Per


Selalu ada dilema antara karir dan keluarga, khususnya untuk kaum wanita. Hal itu tidak terlepas dari kodrat alamiah dan kodrat sosial kaum hawa itu sendiri. Secara alamiah, mereka cenderung memiliki naluri ‘seni’ mengasuh anak, melebihi kaum lelaki.

Dan, secara otomatis, naluri ilmiah ini diikuti oleh kecenderungan sosial yang terjadi pada masyarakat secara umum.
Sebenarnya ini merupakan konfigurasi sosial yang ideal. Itu pula yang menjadi gambaran umum kaum Muslimah  dari generasi pertama umat ini. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu sebagai istri, ibu rumah tangga dan inang pengasuh bagi anak-anak mereka.

Yang menjadi persoalan, pola tersebut mulai bergeser seiring dengan arus perkembangan waktu. Naluri keibuan kaum hawa sedikit demi sedikit mulai menjadi tumpul, barangkali sebagai akibat tidak langsung dari misi kesetaraan gender yang terus menerus dihembuskan oleh Barat.

Sebenarnya, dalam Islam sendiri, tidak pernah ada larangan bagi kaum hawa untuk menekuni karir, senyampang hal itu dijalani sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh syariat. Kalaupun cukup sering terjadi polemik mengenai hal itu, fokus utamanya bukan tertuju pada boleh tidaknya berkairir, akan tetapi mengenai apakah mereka bisa memenuhi tuntunan agama selama menekuni kairir tersebut.

Secara umum, munculnya polemik mengenai wanita karir bersumber dari dua motivasi utama. Motivasi pertama, karena besarnya harapan terhadap kaum hawa sebagai pilar pendidikan generasi. Mengenai hal itu, Ahmad Syauqi, pujangga termasyhur dari Mesir, menyatakan:
ألأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا . . . . أَعْدَدْتَ جَيْلاً طَيِّبَ اْلأَعْرَاقِ
Ibu adalah sekolah. Jika engkau menyiapkannya (dengan baik), maka engkau menyiapkan sebuah generasi yang berkualitas tinggi.

Syekh Musthafa al-Ghulayaini, jubir dan motivator Dinasti Utsmani, menyatakan:
أَلنِّسَاءُ عِمَادُ الْبِلَادِ
Kaum hawa adalah pilar (keberhasilan generasi di) berbagai negeri.
Ibu berperan sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika ibu menghabiskan waktu untuk menekuni karir, maka anak-anak akan kehilangan sentuhan pendidikan dasar yang sangat menentukan perkembangan psikologi mereka. Hilangnya sentuhan tersebut ditengarai menjadi salah satu penyebab utama maraknya kenakalan remaja, khususnya di kalangan masyarakat perkotaan.

Motivasi kedua, kekhawatiran tidak bisa mematuhi ajaran hijab, atau aturan interaksi antara lelaki-perempuan. Pada umumnya wanita karir memang tidak terlalu memperhatikan aturan-aturan syariat yang terkait dengan mereka.
Di antara beberapa kebiasan wanita karir yang tidak sesuai dengan ajaran agama adalah:
(1) Tampil menarik atau berhias di hadapan lelaki yang bukan suami atau mahramnya;
(2) Biasa terjadi ikhtilath (campur baur), khulwah (berduaan), dan saling bersentuhan dengan lelaki bukan mahram;
(3) Bepergian tanpa disertai oleh mahram;
 (4) Keluar rumah tanpa seizin dari suami atau wali;
 (5) Terbengkalainya tugas-tugas kerumah-tanggaan;
(6) Adanya kecenderungan dunia usaha untuk menjadikan pesona jasmaniah perempuan sebagai daya tarik, khususnya dalam konteks pelayanan prima;
 (7) Terjadi kepemimpinan perempuan atas lelaki yang selalu menjadi polemik hangat dalam wacana hukum fikih;
(8) Dan lain sebagainya.

Secara umum, ajaran Islam memang meletakkan batas ruang yang ketat antara lelaki dan perempuan.
Dalam kondisi seperti ini, muncullah banyak dilema. Khususnya, dilema antara persoalan ekonomi dan isu kesetaraan gender di satu sisi, malawan kepentingan rumah tangga, pendidikan anak, dan aturan agama di sisi yang lain.

Maka, persoalan wanita karir harus dilihat dengan sudut pandang yang jernih dan utuh. Terutama, mengenai apa tujuannya, dengan senantiasa mempertimbangkan apa maslahat dan apa mudaratnya. Sangat banyak kaum wanita yang terjun menekuni karir bukan karena didorong oleh kebutuhan mendesak, akan tetapi hanya untuk mencari popularitas, kepuasan, kesenangan, status sosial, kekayaan materi yang melimpah, dan semacamnya.

 Semantara untuk mengejar semua itu, dia harus mengorbankan pentingnya kerumah-tanggaan dan kepengasuhan anak. Dengan begitu, dia meninggalkan sesuatu yang sangat mendesak untuk mengejar sesuatu yang tidak terlalu penting, atau bahkan tidak baik.

Dalam agama Islam sendiri, desakan ekonomi merupakan pintu yang paling terbuka bagi wanita untuk menekuni sebuah perkerjaan. Beberapa data sejarah menyebutkan bahwa Sayidah Fatimah bekerja sebagai penjahit. Juga tidak sedikit perempuan di masa itu yang bekerja sebagai pemintal atau penenun (industri tekstil). Siti Asma' binti Abi Bakar dikenal sebagai wanita yang bekerja keras untuk menghidupi putra-putrinya, karena status beliau sebagai single parent.

Beberapa data sejarah juga menyebutkan bahwa tidak sedikit perempuan pada masa Rasulullah SAW dan para Sahabat yang bekerja sebagai inang pengasuh, ibu susu, dan pelayan. Hal ini tidak terlepas kodrat alamiah perempuan sebagai pendidik ulung bagi anak-anak berusia dini. Bidang-bidang profesi yang erat dengan urusan ‘dalam’ kaum perempuan, memang sudah seharusnya diisi oleh kaum perempuan, semisal kebiadanan dan pengasuhan anak.

Jadi, izin berkarir bagi kaum wanita harus diposisikan sebagai opsi kedua, yakni karena tuntutan kondisi yang cukup mendesak. Bukannya dijadikan sebagai opsi utama, seperti yang sedang giat dikampanyekan oleh pemerintah saat ini. Sepertinya, mereka hendak ‘memaksa’ kaum hawa untuk berkarir di politik dengan kebijakan presentase keterwakilan perempuan di parlemen maupun di kepengurusan partai. Dari satu sisi, sepertinya langkah tersebut dianggap sebagai langkah maju untuk membela hak-hak perempuan, padahal secara psikologis berpotensi besar memudarkan jiwa keibuan dan keistrian.

 Jika sering membaca analisis mengenai kenakalan remaja, sebenarnya di Barat sendiri tidak jarang terdengar keluhan mengenai pudarnya jiwa keibuan karena tingginya gairah kaum hawa untuk menekuni karir. Hanya saja, keluhan-keluhan semacam ini lebih sering tertutupi oleh arus opini yang tidak seimbang.

Maka, sebagai umat dan bangsa yang menjunjung tinggi budaya ketimuran, kita harus berpikir lebih jernih mengenai hal itu, bukannya terdesak oleh perkembangan yang terjadi di negara-negara maju. Sudah ribuan tahun, kaum hawa kita berperan sebagai ibu dan istri, nyatanya roda sosial masyarakat berjalan dengan baik-baik saja. Sama sekali tidak menjadi beban sosial-ekonomi seperti yang banyak ditakutkan oleh generasi kita


 
Beginilah S

Inilah figur wanita-wanita istiewa yang diabadian oleh sejarah, dengan segudang prestasi, prestasi, dan prestasi.
Ha litu bukan karena mereka mampu berkompetisi dengan kaum Adam di bidang yang sama, tapi karena mereka bijak memerankan tugas mereka di bidang yang ditekuni, dengan tanpa mengorbankan kodrat kewanitaannya.

Khadijah, Istri Tercinta
Parasnya cantik, hartanya melimpah, bernasab mulia pula. Itulah Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah SAW. Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, Khadijah perna menikah dua kali, tapi suaminya meninggal semua, dengan masing-masing meninggalkan putra.

Aktivitas Khadijah adalah berdagang, dengan mengirimkan kafilah-kafilah ke negeri Syam. Kafilah-kafilah itu nantinya akan kembali ke Mekah dengan membawa makanan, pakaian, dan komoditas lain, untuk diperdagangkan kembali. Kelihaian Khadijah dalam me-manage perputaran roda bisnisnya, membuat beliau menjadi wanita mulia, kaya, dan disegani.

Selama 15 tahun pernkahannya dengan Nabi Muhammad SAW, Kadijah dikaruniai tiga putra, yaitu al-Qasim, ath-Thahir, dan ath-Thayyib, serta empat putri, yakni Zainab, Ruqayyah, Ummi Kulsum, dan Fatimah az-Zahra’. Khadijah sukses memerankan diri sebagai istri yang baik dan sebagai ibu yang bijaksana bagi anak-anaknya.

Khadijah adalah istri tercinta. Ia bukan sekadar istri yang baik, tapi lebih dari itu, ia rla memberikan segalanya kepada suaminya. Dialah menjadi pelindung suami dari intimidasi orang Quraisy; menenangkan suaminya di kala gundah, dan meringankan suaminya dengan menyumbangkan hartanya di jalan dakwah. Karena itulah, ketika Khadijah wafat, Nabi Muhammad SAW sangat terpukul, hingga dalam sejarah tahun itu tercatat sebagai tahun duka.

Dan, tatkala salah satu stri Nabi SAW protes karena cemburu tatkala Nabi SAW menyebut-nyebut nama Khadijah, Nabi SAW marah: “Demi Allah! Tidaklah Allah pernah mengganti bagiku istri yang lebih baik dari dia. Dia telah beriman kepadaku saat oran-orang masih kafir. Ia telah membenarkan kepadaku saat orang-orang masih mendustaiku. A telah menolongku dengan hartanya di saat orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengariniai aku putra-putri darinya, bukan dari istri-istri yang lain.”

Fatimah az-Zahra’, Wanita yang Tabah
Fatimah az-Zahra’, putri Rasulullah SAW tercinta, adalah sayyidatu nisa’il-‘alamin, pemuka wanita seluruh alam. Namun, tidak berarti beliau meiliki tahta, tidak pula bergelimang harta. Sebaliknya, beliau bernaung di bawah di bawah tenda kesederhanaan bersama Sayidina Ali, al-Hasan, dan al-Husain, Muhsin, Zainab, dan Umi Kulsum; keluarga besarnya.

Kendati hidupnya serba tak kecukupan, Fatimah selalu menerima apa adanya, dan menjalani keadaan ini dengan penuh ketabahan. Pernah suatu ketika, Fatimah datang ke Rasulullah SAW meminta pelayanan dari hasil fai’, agar sedikit bisa meringankan beban hidupnya. Namun, Rasulullah SAW tidak mengabulkannya. Akan tetapi, Rasulullah SAW mengajarinya doa-doa, dan menyuruhnya minta tolong kepada Allah SAW dalam mengurusi rumah-tangga, mendidik anak, serta melayani suami.
“Hai Fatimah, sabarlah. Sesungguhnya, sebaik-baik wanita adalah yang memberi manfaat kepada keluarganya,” nasihat Rasulullah SAW.

Pada suatu hari, Rasulullah SAW menjenguk Fatimah, dan mendapatinya sedang menggiling gandum dengan batu giling, sementara baju yang dikenakannya tampak terbuat dari bulu onta. Maka Rasulullah SAW menangis seraya berkata, “Hai Fatimah, rasakanlah kepahitan hidup di dunia, agar kelak merasakan kenikmatan akhirat.”

Pada kesempatan yang lain, Rasulullah SAW menjenguk Fatimah yang sedang sakit. “Bagaimana keadaanmu wahai anakku?” Fatimah manjawab, “Aku sedang sakit dan lapar”. Nabi SAW lalu memberi nasihat, “Tidakkah engkau suka menjadi pemimpin wanita seluruh alam?”

Demikianlah, sulitnya manjalani hidup tidak membuat Fatimah az-Zahra’ kehilangan harga dirinya. Justru beliau sukses melewati masa-masa sulit dan ujian yang berat itu, berkat kesabaran dan ketabahannya yang luar biasa. Kemuliaan dan derajat yang tinggi memang seharusnya tak diukur dengan materi.

Aisyah, Sumber Rujukan Ilmu
Suatu ketika Rasulullah SAW ditanya, “Siapakah orang yang paling Anda cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah”. Merasa kurang puas, si penanya kembali bertanya, “Aku maksudkan dari kaum lelaki”. Rasul SAW menjawab, “Ayahnya”.

Jawaban Rasul SAW itu sudah cuku memberikan gambaran kepada kita mengenai siapa dan bagaimana kedudukan Sayidah Aisyah, salah satu istri Nabi SAW. Beliau adalah wanita mulia, dari keturunan mulia, putri Sahabat yang paling mulia, Abu Bakar ash-Shiddiq.

Raulullah SAW menikahi Aisyah pada usia belia. Sebagian orientalis menganggap ini aneh, lalu mereka mengkritik habis-habisan. Sebenarnya para orientalis itu keliru karena mereka menjadikan tredisi Barat sebagai standar kebenaran. Gadis Barat biasanya tidak kawin sebelum mencapai usia 25 tahun, sementara gadis seusia itu di Jazirah Arab dianggap sebagai usia perkawinan yang terlambat.

Pernikah Rasulullah SAW dengan Aisyah yang masih belia, ternyata menympan sejuta hikmahbagi umat Muhammad SAW. Aisyah adalah salah seorang istri Rasulullah SAW yang banyak memperoleh pendidikan langsung dari Rasulullah SAW; menerima ilmu, hukmah, dan petunjuk dari beliau. Karena itu, sepeninggal Rasul SAW, Aisyah menjadi sumber rujukan ilmu, terutama berkenaan dengan keperibadian Rasul dan keadaan rumha-tangga beliau, yang tidak banyak diketahui oleh khalayak.

Dalam hal ini, Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Bila kami para sahabat mengalami kesulitan dalam suatu permasalahan, maka kami menanyakan jawabannya kepada Aisyah”.

Diriwayatkan dari Atha’ bin Rabah, “Adalah Aisyah yang paling faqih dan paling alim serta paling baik pendapatnya mengenai permasalahan hukum. Adalah Aisyah tempat berguru kaum pria, dan banyak murinya yang kemudian terkenal menjadi guru dan panutan generasi berikutnya”.

Karena itu, nama Aisyah menjadi harum semerbak, dan ditulis dengan tinta emas sejarah. Beliau berperan besar dalam mentransmisikan Hadis-Hadis Rasulullah SAW kepada generasi umat Islam. Beliaulah sebetulnya sang pelopor yang memilki peran besra dalam memajukan keilmuan  umat Islam. Dalam hal ini beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak malu untuk belajar agama.”
***
Cukuplah kiranya figur wanita-wanita yang di uaikan di atas, menjadi potret sempurna, untuk bagaimana seharusnya para wanita bisa menata diri. Para istri Nabi SAW (ummahatul-mu’minin) adalah figur wanita-wanita yang sempurna, yang menjadi teladan wanita sepanjang zaman. Masing-masing memiliki keistimewaan yang membuat mereka layak menjadi panutan.

Mereka adalah wanita-wanita yang telah teruji oleh sejarah. Sekali lagi penting ditegaskan bahwa mereka menjadi mulia dan bermartabat, bukan karena mereka mangambil alih peran kaum pria, akan tetapi karena mereka menunaikan tugas-tugas kewanitaan dengan arif dan bijak, mengikuti tatanan Ilahi yang telah digariskan.
 
Silakan Berkarir “di Atas Rel”

Partisipasi wanita di luar rumah dewasa ini telah menjadi tata-sosial yang tak lagi bisa disangkal. Semakin hari konsentrasinya semakin meninggi.

Sebagian percaya bahwa ini adalah tren positif bagi terangkatnya nilai-nilai persamaan, yang pada gilirannya akan mengantarkan bangsa pada taraf kemakmuran yang lebih bermartabat. Namun tidak sedikit yang merasa gundah, karena faktanya gerakan kaum perempuan umumnya menyimpang dari aturan (syariat). Bagaimana sebenarnya duduk persoalannya?



Anjuran Bekerja
Pada dasarnya Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja. Dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan Hadis, terdapat penjelasan-penjelasan tegas mengenai anjuran-anjuran itu, di antaranya sebagai berikut:

Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah [62]: 10).
Mengulas ayat ini, al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan anjuran untuk mencari kebutuhan hidup, seperti berdagang, bercocok tanam, berternak, dls.

Ayat lain yang menjelaskan keutamaan bekerja adalah:
Dialah yang menjadikan langit dan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS al-Mulk [67]: 15).

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini memotivasi kita untuk bekerja. Karena itu, Mahmud al-Alusi berkesimpulan jika ayat ini menjadi dalil bagi kesunatan bekerja.

Ayat lain yang memberi penegasan serupa adalah al-Baqarah ayat 198, an-Naml ayat 20, an-Naba’ ayat 11.

Sedangkan Hadis yang memberikan anjuran tegas untuk bekerja cukup banyak, antara lain adalah sebagai berikut:
Tidak ada makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang daripada hasil sendiri, dan sesungguhnya Nabi Dawud AS makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari).

Mengomentari Hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa Hadis ini menjadi dalil akan keutamaan bekerja, dan penghasilan dari tangan (jerih payah) sendiri lebih baik daripada hasil tangan orang lain.

Kesimpulan ini juga diperkuat dengan banyak Hadis yang lain, di antaranya adalah:
Sesungguhnya paling baik makanan yang dimakan oleh seseorang yang dihasilkan oleh kasabnya sendiri, dan sesungguhnya anak merupakan bagian dari kasabnya.” (HR. Abi Daud dan Ibnu Majah).
Dari uraian ayat al-Qur’an dan Hadis di atas para ulama berkesimpulan bahwa hukum bekerja pada dasarnya adalah mubah, boleh dilakukan juga boleh tidak. Akan tetapi bekerja bisa sunat jika bertujun mencapai kebaikan, seperti menolong orang lain. Bahkan bekerja bisa menjadi wajib jika untuk memenuhi kewajiban, seperti untuk menafkahi keluarga.

Ketetapan hukum ini tidak hanya berlaku untuk orang laki-laki, tapi juga mencakup terhadap perempuan. Perempuan juga memiiki kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial., seperti amar ma’ruf nahi munkar, yang secara eksplisit dijelaskan dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 71.

Bagaimana dengan Wanita?
Hikmah disyariatkannya bekerja adalah agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, baik sandang, pangan maupun papan. Ketika kebutuhan-kebutuhan itu sudah terpenuhi, maka hukum bekerja menjadi mubah.

Selanjutnya, fikih memberikan aturan yang membebani orang laki-laki untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Itu artinya, biaya hidup seorang perempuan (istri atau anak)  merupakan beban yang harus dipenuhi oleh laki-laki (suami atau ayah/saudara). Karena kebutuhan hidup kaum hawa telah dibebankan pada pihak laki-laki, maka hukum wanita bekerja menjadi mubah.

Nah, karena biaya hidup orang perempuan merupakan tanggungan suami, tentu saja suami harus bekerja (mencari nafkah) guna menunaikan kewajibannya. Di sinilah kemudian fikih mewajibkan perempuan yang telah bersuami untuk mengurusi rumah dan hak-hak suami, menjaga serta merawat anak-anaknya dengan baik, dls. Sedangkan perempuan yang tidak bersuami dianjurkan selalu berdiam di rumah serta melayani kedua orang tuanya.

Dengan adanya pembagian tugas ini, aturan Islam sejatinya mencita-citakan terjadinya adanya keseimbangan yang benar-benar seimbang. Terjadinya interaksi yang berkesimbangan; saling melengkapi, bahu-membahu dalam memenuhi hajat hidup bersama, dengan pemilihan tugas yang berkesesuaian dengan kodrat dan fitrah masing-masing, menggambarkan rahmat tiada tara, yang dicurahkan oleh Allah SWT melalui syariat-Nya.

Kondisi Mendesak
Syariat Islam adalah aturan yang mudah dan memudahkan. Ia diberlakukan bukan untuk mempersulit dan merumitkan. Maka, dalam konteks ini, sekalipun kaum hawa tidak diperkenankan bekerja di luar rumah dalam kondisi normal, namun dalam kondisi mendesak (darurat), tentu hal ini diperbolehkan.

Ada beberapa dalil yang menunjukkan akan kebolehan hal ini, baik dari al-Qur’an maupun Hadis. Di antara ayat al-Qur’an yang menjelaskan kebolehannya adalah ayat yang menceritakan dua putri Nabi Syuaib AS yang telah diizini mengambil air untuk minuman hewan ternaknya.

 Hal demikian, dilakukan karena Nabi Syuaib AS sendiri sudah lanjut usia dan tidak bisa menggembala ternaknya:
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat seperti itu)?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.’.” (QS al-Qashash [28]: 23).

Imam ar-Razi menjelaskan bahwa Nabi Syuaib AS yang merelakan putrinya menggembala ternak keluar rumah adalah karena terpakasa, yakni keadaan Nabi Syuaib AS sendiri sudah lanjut usia, dan tidak ada orang lelaki yang mewakili beliau untuk melakukan pekerjaan itu.

Sementara dalil dari Hadis adalah riwayat Imam al-Bukhari mengenai Asma’ binti Abi Bakar, istri Zubair bin al-Awwam RA. Bahwa ketika Zubair bin al-Awwam RA menikahi Asma’, ia sama sekali tidak mempunyai harta kekayaan apapun, sehingga waktu itu yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah Asma’, dan ternyata langkah Asma’ ini tidak diingkari oleh Nabi SAW, sampai kemudian Abu Bakar RA memberi seorang pelayan untuk membantu dan meringankan pekerjaan Asma’.

Mengomentari Hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa motif utama yang menyebabkan pekerjaan rumah tangga Zubair dilakukan istrinya, Asma’, adalah karena Zubair berkonsentrasi penuh pada tugas-tugas dari Nabi SAW, yakni berjihad, sehingga beliau tidak berkesempatan mengurusi rumah tangganya. Karena itulah, Imam an-Nawawi berkesimpulan bahwa Hadis ini menjadi bukti bagi diperbolehkannya orang perempuan bekerja di luar rumah dalam keadaan terpakasa.

Temasuk kebutuhan mendesak yang memperbolehkan perempuan bekerja di luar rumah, adalah melakukan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh setiap orang perempuan, seperti menjadi bidan. Sebab sejak zaman Rasulullah SAW, profesi ini sudah dikenal, seperti Sayidah Khadijah ketika hendak melahirkan, yang menjadi bidan kala itu adalah Salma istri Abi Rafi’.

Namun demikian, kendati seorang perempuan boleh bekerja di luar rumah dalam kondisi-kondisi tertentu, syariat Islam juga menetapkan rambu-rambu yang harus ditaati, sebagai berikut:
• Mendapat izin dari orang tua atau suami
• Keluar bersama mahram
• Menutup aurat dengan sempurna
• Tidak pamer perhiasan dan kecantikan
• Tidak mengeluarkan suara yang mengundang syahwat
• Menjaga pandangan
• Tidak menimbulkan fitnah
• Tidak terjadi ikhtilath (campur baur dengan lelaki yang bukan mahram)

Ulama fikih mendefinisikan ikhtilath dengan suatu keadaan apabila beberapa lelaki dan perempuan bukan mahram bertemu di satu tempat, kemudian terjadi interaksi antara mereka. Interaksi ini bisa saja berupa percakapan, pandangan, atau isyarat yang bisa dipahami. Dengan demikian, ikhtilath bisa terjadi kapan dan di mana saja, baik secara berencara maupun tidak.


 

0 komentar:

Posting Komentar