Pernah ada sms masuk ke HP saya dimana sms ini adalah dari
seorang mahasiswi STAIN Pekalongan yang menanyakan apa benar jika seorang istri
menolak ajakan suaminya untuk jima’. Sang wanita dianggap nusyuz (durhaka
karena tidak memenuhi hak suami) dan bersangsi dilaknati malaikat sampai suami
memaafkan. Kemudian saya jawab dengan membenarkan pernyataanya tersebut dan
saya tambahi bahwa bagaimanapun keadaanya seorang wanita wajib akan
kesediaannya bila diajak suami dalam masalah ini meski ia ada diatas
kendaraan dan berada didepan tungku(dapur).
Kemudian pertanyaan baru muncul, bagaimana jika istri
meminta? Apakah suami boleh menolak. Maka dengan singkat saya jawab. “ Bahwa
seorang suami memiliki kewajiban memenuhi hak istri, bilamana sang suami tidak
memenuhi hak istri maka ia telah berlaku dzalim dan durhaka pada Allah. Karena
sang suami menghalalkan kemaluan istri atas nama Allah, maka ia juga wajib
memenuhi hak istri yang diantaranya perihal kepuasan seksual”. Namun alangkah
baiknya jika jawaban saya ini saya jelaskan secara gamblang agar lebih
memahamkan bagi orang-orang awam pada umumnya. Dimana masih banyak orang-orang
yang masih jahil(tidak tahu) atas kewajiban dan hak antara suami
istri ini.
Pembahasan.
Wajib hukumnya seorang suami memuaskan istri dengan
hubungan seksualnya. Ibnu Qudamah[1]:
“Berhubungan seks wajib bagi suami jika tidak ada udzur”.[2] Maksud
dari Ibnu Qudamah tersebut adalah bahwasanya wajib bagi suami untuk memuaskan
istrinya karena ini hak istri atas suami. Sebagaimana diketahui bahwa wanita
teramat tersiksa bilamana hak ini (hubungan seks) tidak terpenuhi karena pada
umumnya fitrah wanita sangat besar nafsunya, sebagaimana penjelasan Imam
Qurtuby bahwa perbandingan syahwat wanita adalah sembilan banding satu.
Perkara wajib ini adalah sebuah langkah pencegahan akan
fitnah (kerusakan), karena tingkat keimanan antara wanita dengan wanita lainya
berbeda dan berbeda pula tingkat gairah seksnya. Dimana sebuah perkara yang dzalim
bila sang suami tidak bersedia menggauli istrinya tanpa sebab yang jelas,
sedang kedzaliman itu adalah haram hukumnya. Wajib disini adalah bila perkara
ini tiada ditunaikan maka akan mendatangkan dosa atas pelanggaran syara’ dalam
hak dan kewajiban dalam pernikahan. Dan hendaknya seorang istri menuntut haknya
dan suami menuruti tuntutan istrinya atas haknya dan menjalankan kewajibanya
selaku suami. Jadi kesimpulanya adalah seorang suami dibebankan kewajiban untuk
menyenggamai istrinya yang dimana bila ia tidak menggauli istrinya maka ia juga
dikenai dosa atas kelalaian kewajibanya dan kedzolimanya. Dan tidak istri saja
yang terkena ancaman dosa bila tidak bersedia berhubungan seks. Keduanya suami
dan istri saling berkewajiban untuk melakukan hubungan seks. Karena dalam
masalah pernikahan keduanya memiliki satu hak antara satu dengan lainya dan
satu kewajiban antara satu dengan lainya. Allah swt berfirman :
“Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.”(QS.2:228)
Pendapat wajibnya seorang suami menyenggamai istri ini juga
dikemukakan oleh Imam Malik, alasan Imam Malik adalah bahwasanya nikah adalah
demi kemaslahatan suami istri dan menolak bencana dari mereka.[3] Ia
(suami) melakukan hubungan untuk menolak gejolak syahwat istri, sebagaimana
juga untuk menolak gejolak syahwat suami.
Ibnu Hazm ad dzahiri[4]
berpendapat bahwa menyenggamai istri itu hukumnya wajib, minimal sekali setelah
sang istri suci jika ia mampu. Dan apabila tidak maka sang suami telah durhaka
pada Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala
“Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu “(QS.Al Baqarah.222)[5].
Berdasarkan ayat ini
Ibnu Hazm berpendapat bahwa jikalau istri selesai dari haid dan telah bersuci
sang suami wajib mencampuri istrinya, apabila tidak maka ia dianggap berdosa
pada Allah karena bertentangan dengan ayat tersebut.[6] Allahu’alam
Imam Ghazali berpendapat, sebaiknya seorang suami
menyenggamai istrinya empat hari sekali. Ini semua merupakan suatu langkah
dalam menenangkan istri karena ini merupakan suatu kewajiban.[7]
Hadits diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, Ka’ab bin Siwar Al
Asadi pernah duduk disamping Umar bin Khotob dan datanglah seorang wanita yang
mengadu padanya :”Hai Amirul Mukminin, aku sama sekali tidak pernah melihat
seorang lelaki yang lebih utama dari suamiku. Demi Allah ia selalu shalat
semalam suntuk dan berpuasa disiang harinya, kemudian ia memohonkan ampunan
kepada istrinya dan memujinya. Umar berkata :”Ya itu suamimu”. Wanita ini
berkali-kali menyampaikan aduan ini dan berkali-kali pula Umar menjawab.
Kemudian ka’ab berkata kepada Umar. “ Wahai Amirul Mukminin, wanita ini mengadu
atas suaminya yang menjauhi tempat tidur istrinya”. Umar menjawab : “ sebagaimana
yang kau ketahui putuskanlah kedua masalah sumi istri ini”. Ka’ab berkata :”
Sungguh aku berpendapat bahwa wanita ini yang keempat setelah wanita yang
ketiga. Maka aku putuskan tiga hari siang dan malam untuk ibadah suamimu dan
satu hari satu malam untuk berkumpul dengan istri”. Kemudian ia berpesan pada
suami “Sesungguhnya pada istrimu ada hak. Hai suami engkau mendatangi istrimu
empat hari sekali bagi yang sedang. Berikanlah hak itu dan hilangkanlah
keburukanmu.” Kemudian Umar berkata pada Ka’ab : “Demi Allah pendapat
(keputusanmu) yang pertama kali ini menakjubkanku dari pendapat-pendapat orang
lain, maka aku perintahkan kau untuk pergi menjadi hakim di Bashrah.[8]
Jadi beradasarkan riwayat ini bahwa bila ada seorang suami
tidak bersedia menggauli istrinya ini merupakan tindak kejahatan yang bisa
diadukan kepada hakim/penguasa untuk diputuskan perkaranya. Jika ini bukan
tindak kejahatan Umar dan Ka’ab tidak akan memutuskan suatu perkara ini,dan
Umar juga tidak akan mengangkat Ka’ab menjadi hakim di Bashrah. Tidak menggauli
istri adalah pelanggaran atas hak istri dan bentuk kedzaliman yang terkategori
kriminal. Entah apapun alasan sang suami, hatta ia beralasan dalam
rangka ibadah pada Allah tetap saja itu suatu kedzaliman bila ia enggan
menggauli istrinya. Dan karena ini suatu tindak kriminal (kedzaliman) dan
perenggutan hak maka sang istri berhak mengadukanya pada pengadilan.
Sebagaimana ia dianiyaya fisik (dipukuli) oleh suami. Ini semua karena memukuli
istri tanpa hak dan tidak memnuhi hak istri untuk digauli sama-sama kedzaliman
dan kriminalitas.
Ibnu Taymiyyah menyatakan : "Seorang suami harus memberikan nafkah batin
kepada isterinya secara makruf. Sebab, ia termasuk kebutuhannya yang
paling utama; melebihi kebutuhannya terhadap makan. Nafkah batin yang wajib
dipenuhi oleh suami menurut sebagian ulama paling lama empat bulan
sekali. Sementara pandangan lain sesuai dengan kebutuhan isteri dan
kemampuan suami untuk memenuhinya."
Imam Ahmad berpendapat : “ Hubungan badan dengan istri
wajib, sekalipun demikian, kewajiban suami adalah menjaga hak istri (yaitu
digauli). Hendaknya suami bersikap sedang dalam berpuasa dan shalat malam agar
mampu melaksanakan hubungan wajib dengan istri.[9]
Batas ritme hari
menyenggamai istri
Adapun berapa lama waktu ritme menggauli istri para ulama
berbeda pendapat namun sangat mudah untuk dipahami. Imam Al Ghazali berpendapat
wajib setiap empat hari sekali. Alasan ini adalah karena Al Imam Ghazali bahwa
empat hari ini adalah berdasarkan jatah seorang suami yang boleh memadu empat
wanita. Jadi ini akan ada penggiliran yang adil yaitu sehari sekali setiap
putaran. Dan alasan lainya adalah bila ada seorang suami yang mukim, diamana
setiap hari sang suami berdampingan dengan istri setiap hari, dimana setiap
malam mereka bertemu. Maka kewajiban ini jatuh setiap empat hari sekali, dan
bila hendak ditambah menjadi tiga kali dalam empat hari tiadalah mengapa jika
memang kedua belah pihak baik kondisinya. Dan bila dalam waktu empat hari tidak
ada hasrat bagi keduanya maka tiada mengapa tidak bersenggama atas keridhoan
kedua belah pihak. Namun jika ada salah satu pihak berhasrat, maka perkara ini
haruslah dipenuhi dan bagi yang tidak berhasrat haruslah membesarkan
pengertianya.
Dan sebagian ulama berpendapat wajib senggama itu ritme
waktunya adalah empat bulan seklai, sebagaimana pendapat Imam Ahmad yang
dikutip Ibnu Qudamah dalam Al Mughni. Adapun ritme waktu empat bulan sekali ini
bilamana sang suami bekerja denagn cara safar mukim. Maksudnya dari safar mukim
adalah sebagaimana seorang pedangang yang dimana ia sering berkeliling yang
terkadang ia pergi berhari-hari dan berminggu-minggu namun disatu sisi ia masih
ada waktu, kesampatan dan kemampuan untuk pulang.
Sebagian ulama lagi mewajibkan menggauli istri dengan ritme
waktu empat bulan sekali. Ini berdasarkan riwayat dari Umar bin Khotob yang
menyuruh tentaranya setiap empat bulan sekali pulang untuk menemui istrinya.
Dalam sebuah riwayat, suatu saat Umar bertanya pada anaknya Hafzah. “ Wahai
Hafzah berapa lama wanita sanggup menahan” . Hafzah terdiam dan tidak menjawab
karena malu. Kemudian Umar mengerti dan berkata: “ Tidak perlu malu dalam
perihal agama”. Kemudian Hafzah menjawab “ Empat bulan kami (para wanita) mampu
menahan”. Setelah mendapat keterangan ini Umar memutuskan untuk menggulir
tentaranya yang berada diluar untuk berganti dengan kelompok pauskan yang lain
setiap empat bulan sekali, agar para suami yang menjadi tentara bisa menunaikan
kewajibnya atas hak istrinya. Jadi bagi suami yang bekerja secara safar yang
jauh, maka diusahakanlah setiap empat bulan sekali untuk pulang dalam rangka
memenuhi hak istrinya dan menunaikan kewajibanya.
4 bulan didiamkan, sah
meminta cerai
Inih wujud perlindungan
Allah atas hak asasi manusia bagi wanita yang paling baik dan penuh manfaat.
Tidaklah suatu celaan yang paling menakutkan selain celaan yang ada dalam
Al-Qur’an dan lisan Muhammad saw sang nabi Allah. Jika sang wanita dicela oleh
lisan nabi Allah karena menolak untuk digauli atas suami, maka jika ada suami
menolak menggauli istri; sang suami tersebut langsung dicela Allah melalui
kalam-Nya yang suci.
Kesimpulan.
Jadi jelaslah sudah bahwa seorang istri juga punya hak
untuk disenggamai sang suami dan suami berkewajiban memenuhi hak istri ini.
Yang dimana sang suami berkwajiban menyenggamai istri bila ia tidak bersedia
maka ia berdosa dan sang istri juga berkewajiban untuk bersedia disenggamai
sang suami bila ia menolak maka ia akan berdosa. Keduanya sama-sama dikenai dan
dibebani kewajiban akan perkara ini.
Ini juga sekaligus bantahan untuk kaum kafir feminis, jender
dan liberal yang mereka sering menyatakan akan kedzaliman suami atas istri
karena mereka beranggapan bahwa istri akan berdosa jika menolak diajak senggama
dan lelaki punyak hak otoriter dalam mengatur ritme senggama, sehingga banyak
wanita yang terdzolimi karena suami tidak bersedia menyenggamainya ,sehingga
syariatlah yang terkena getah pernyataan mereka, seolah syariat telah mendzolimi dan
tidak memberikan keadilan pada kaum wanita. Sesungguhnya pikiran mereka ini
bodoh lagi jahil murakkab karena mereka berbicara mengenai islam namun
mereka buta akan islam. Kita berlindung pada Allah dari kesesatan dan kepicikan
berpikir. Allahu’alam
PERMASALAHAN
BARU . . .
Ternyata setelah pembahasan hukum
“ Bolehkan Sumai Menolak Ajakan Istri” timbul permasalahn baru, yaitu bagaimana
bila sang suami tidak berhasrat, apakah boleh sang istri merayu dengan sekuat
tenaga dan berbagai cara agar suaminya berhasrat. “apakah boleh tadz seorang
istri memakai pakaian ketat agar sang suami berhasrat, apakah perkara ini
menyerupai –maaf- pelacur yang merayu?”.kemudian apa hukumnya ustadz,
bilamana seorang suami merayu istrinya agar mau disenggamai dengan cara
memberikan perhiasan,uang atau benda menarik lainya?.
Maka saya jawab, semoga jawaban saya
ini tidak meyalahi hukum Allah.
Pertama. Seorang istri dibolehkan
memakai pakaian ketat dan seksi dihadapan suami. Sebagaimana telanjang
dihadapan suami juga diperbolehkan, maka memakai pakaian seksi yang lebih
ringanpun juga dibolehkan secara logika. Karena semua aurot sitri halal untuk
ditampakan pada suami. Ini sudah menjadi Ijma’ bahwa aurot istri halal secara
keseluruhan bagi suami termasuk farji’nya. Adapun bila ada hadits perihal
larangan melihat Farji’. Hadits tersebut adalah hadits bathil dan munkar yang
tidak bisa dijadikan landasan.[10]
Kedua, perihal merayu dan mencumbu
suami agar berhasrat. Ini juga dibolehkan bahkan ini adalah perintah yang
memang harus dilakukan jika hendak berjima’. Adapun bila sang istri merayu dan
mencumbui suami ini tidaklah sama seperti wanita nakal yang menggoda lelaki
yang diharamkan untuknya. Karena suami itu adalah orang yang halal yang boleh
diapakan saja sesuka hati atas istri selaku pemiliknya.
Ketiga,diwajibkanya bercumbu rayu jika
hendak berjima’. Bercumbu rayu dan bercanda salah satu fungsinya adalah untuk
menumbuhkan hasrat bagi pihak yang kurang berhasrat, entah dari pihak istri
atau suami. Jadi jika sang istri berhasrat sedang suami dalam keadaan lemah,
maka sang istri diharuskan mencumbu dan merayunya agar sang suami berhasrat.
Dan perkara ini adalah perkara makruf-bukan maksiat- yang diperintahkan oleh
syara’.
Ketika Jabir menikah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya padanya,
« هَلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أَمْ
ثَيِّبًا » . فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا . فَقَالَ « هَلاَّ تَزَوَّجْتَ
بِكْرًا تُلاَعِبُهَا[11] وَتُلاَعِبُكَ
»
“Apakah engkau menikahi gadis (perawan) atau
janda?” “Aku menikahi janda”, kata Jabir. “Kenapa engkau tidak menikahi gadis
saja karena engkau bisa bercumbu dengannya dan juga sebaliknya ia bisa bercumbu
mesra denganmu?” (HR. Bukhari no. 2967 dan Muslim no. 715). Ibnu Hajar
mengatakan bahwa hal ini sebagai isyarat kalau gadis sangat menyenangkan jika
diisap lidahnya ketika bermain-main atau menciuminya (Fathul Barri, 9:
122).
An-Nawawi
berkata, “Hadits ini menunjukan (sunnahnya) cumbuan lelaki pada istrinya dan
bersikap lembut kepadanya-juga sebaliknya-, membuatnya tertawa serta bergaul
dengannya dengan baik”( Al-Minhaj syarah Shahih Muslim 10/53)
Para
Ulama telah ber Ijma’ / bahwa mendahului Jima’ dengan senda gurau dan cumbu
rayu, beciuman dan saling menghisap lidah dan masuknya air ludah adalah sunnah
muakad. Dan, mereka memandang makruh bila menyelisihinya-para ulama memakruhkan
berjima tanpa didahului cumbuan-. (Faidhul Qadir, Al Manawi.5/90)
Para
ulama menjelaskan bahwa berciuman dengan saling menghisap lidah mampu menambah
kemesraan dan rasa cinta kasih. Sesungguhnya lidah dan air ludah perempuan
berbeda dengan janda. Wanita gadis lebih baik dan beraroma khas air ludahnya
dibandingkan janda, dan lebih baik dirasa. Memasukan lidah kepada mulut
masing-masing pasangan adalah perkara baik yang sunnah.[12]
Adapun
tata cara bercium yang dalam mencandai pasangan adalah dengan cara menghisap
lidah dan mengecup bibirnya hingga air ludah saling masuk (saling bertukar
masuknya air liusr/ludah). Perkara ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al
Qurtubi. (lihat : Fath Barri, 9 :122/ Al Jami’ Li
Ahkaam Al Qur’an, Imam Al Qurtubi). Sedang air liur/ludah dari mulut itu bukanlah najis dan tidak
menajiskan. (I’aanah at-Thoolibiin I:85 / Al Muhaddzab I:47 /Al Umm, Imam As
Syafii / Al-Muntaqa min Fatâwâ
Fadhilatisy-Syaikh Shâlih Fauzân, 5/10).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya seorang mukmin
itu tidak najis.” .(HR Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya,
1/74,75, dari hadits Abu Hurairah radiallahu’anhu)
Masuknya
air ludah pasangan ke dalam mulut tidaklah membatalakn puasa. Sebagaimana
hadits.
ثَبَتَ عَنْ عَا ئِشَةَ : عَا نَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ و يَمُصُّ لِسَا
نَهَا ( راوه أب داود )
Dari ‘Aisyah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,menciumnya sedang beliau sedang berpuasa. Dan beliau juga menghisap
lidahnya (Aisyah). (HR. Abu daud dlam Sunannya. NO:2378. Ibnu Huzaimah dalam
Shahihnya 3/246, Ahmad dalam Musnadnya 6/123 dan 224, Al Khatib dalam Tali At
Talkhish 1/301. Abu Dawud memvonis hadits ini Hasan, selain itu juga hadits ini
banyak pendukung.). untuk lebih jelasnya maslah ini silahkan baca tulisan saya
(M. Fachmi Al Ghomawangiy) yang berjudul “ Mubasyaroh Ketika Puasa”
dapat di akses-InsyaAllah- di blog pribadi saya. www.as-syubhat.blogspot
.com.
Imam Ibnu Qayim menjelaskan bahwa
Rasulullah pernah menghisap lidah Aisyah tatkala dalam cumbu rayu. Dan
sesungguhnya cumbu rayu ini diperintahkan (sunnah). Dan bahkan diwajibkan untuk
menghindari kedzaliman.
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Aththusi disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Apabila
seorang di antara kamu menggauli isterinya, janganlah menghinggapinya seperti
burung yang bertengger sebentar lalu pergi.” (HR.
Aththusi)
Dalam
riwayat lain disebutkan. “Janganlah kamu menggauli isteri sebagaimana unta
atau keledai, tetapi hendaklah bercumbu dan bercengkerama terlebih dahulu”.
(lihat 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath
- Gema Insani Press).
Maka disini sangat jelas bahwa
bercumbu atau merayu agar pasangan berhasrat adalah perintah syara’ yang tidak
tercela. Dan suatu keharusan bilamana hendak mengajak pasangan untuk
bersenggama hendaknya sang pengajak itu mencumbui atau merayu yang diajak
tersebut. karena pada umumnya sang pengajak berhasrat dan yang diajak belum
tentu berhasrat, maka dari itulah bagi pihak yang tidak ada hasrat harus
dibangkitkan hasratnya agar menghindari kedzaliman. Sunguh suatu yang tidak
nyaman bilamana bersenggama salah satu pihak ada yang kurang berhasrat. Perkata
ini berlaku bagi istri atas suami atau suami atas istri.
Dan bilamana sang istri mengajak sang
suami atas hasrat istrinya, namun disatu sisi sang suami kurang berhasrat, ini
suatu keharusan bagi sang istri untuk membangkitkan hasrat sang suami, baik
dengan memakai pakaian ketat,mencumbui atau merayu dan ini adalah perkara
makruf. Begitu pula suami jika hendak mendatangi istrinya.
Kemudian mengenai marayu dengan
memberikan pemberian untuk meluluhkan hatinya, ini adalah perkara tercela dn
dibenci oleh para ulama. Dan seharusnya seorang istri jangan bersedia jika
dirayu dengan rayuan semacam ini. Pertama ini menyalahi adab,kedua menyerupai
pelacuran, dan ketiga semua tubuh istri adalah hak penuh atas suami, tanpa ada
pemberianpun seorang suami punya kuasa atas istri dan istri haram menolak
sekalipun tanpa pemberian.
Syaikh Muhmmad At Tihami ulama yang
mensyarah nazham Ibnu Yamun. Dalam Nazahm Ibnu Yamun dijelaskan bahwa
memberikan kepingan dirham (bisa berupa emas,perhiasan atau barang menarik
lainya) demi untuk melepas celana dalam istri (mengajak Jima’) adalah
menyerupai pelacuran. Oleh karena itu sebaiknya sifat Tasyabuh ini
ditinggalkan dan hendaknya berjalanlah sesuai sunnah dan adab yang baik.
Pemberian emas (mahar) pada wanita
dalam islam hanya satu kali seumur hidup masa pernikan. Setelah mahar terbayarkan
maka Farji’ wanita halal selama masa pernikahan masih sah. Dan bila menagajak
untuk dikemanfaatkan farjinya sebagaimana mestinya. Sang suami tidak perlu
memberikan pemberian berupa emas, dirham,uang atau harta berharga lainya demi
bersedianya istri diajak berjima’. Berbeda adanya dengan tradisi orang barat
(Romawi dan Persia[13])
yang tidak mengenal islam, para istri dijamanya layaknya pelacur meski ssudah
menjadi istri yang sah, yaitu bilamana suaminya hendak memanfaatkan dirinya. Ia
mensyaratkan mahar (pemberian) setiap kali akan Jima’. Hal itu berulang terus
setiap suami mengajaknya Jima’ meski ia istrinya yang sah. (Lihat Shahih
Fikih Sunnah)
Penulis kitab An-Nashihah berpendapat bahwa tidak perlu ada pemberian
sesuatu dalam bentuk apapun dalam rangka membuka celana dalam istri jika hendak
memanfaatkan tubuh istri. Karena itu menyerupai pelacuran. Dan hal itu adalah
kebiasaan bangsa barat (Romawi dan Persia) selaku penyembah Dewa, yang
senantiasa memberikan sesuatu pada istrinya yang sah setiap kali hendak
berjima’. Maka dari itu kita dimintai menyelisihi orang-orang barat itu yang
musyrik. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
خَالِفُوا
الْمُشْرِكِينَ
“Selisihilah
orang-orang Musyrik”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim ).
FATWA ULAMA
FAS.
Penulis kitab Mudakhal
menjelaskan. Pernah terjadi di kota Fas, pernah ada seorang suami sebelum
memasuki istrinya dan meminta istrinya membuka celana dalamnya . Ia terlebih
dahulu merayunya dengan memberikan kepingan-kepingan perak, kemudian sang istri
baru bersedia membuka celana dalamnya dan berjima denganya. Kemudian perkara
ini disampaikan pada Ulam Faz, kemudia memberikan Fatwa :” Sesungguhnya bila
seorang suami memberikan pemberian dalam rangka merayu istri agar membuka
celana dalamnya (maksudnya Jima’), maka ini menyerupai pelacuran. Dan perkara
semacam ini harus dicegah-dilarang-HARAM.”
Semoga jawaban saya memberikan
kejelasan yang baik, sehingga kita semua bisa membedakan cara merayu yang baik
dan cara merayu yang menyerupai pelacuran. Dan hendaknya seorang istri menjaga
kehormatan dan harga dirinya dari penyerupaan sikap dan watak pelacur dalam
masalah ini. Seorang istri yang baik harus paham akan hak dan kewajibanya atas
perkara ini.
Allahu’alam
[6] Setelah saya
cek pendapat Ibnu Hazm ini dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir, di dalamnya
dijelasakan bahwa pendapat Ibnu Hazm ini cukup bisa diterima (kuat ). Yaitu bilamana istri selesai haid
dan istri mandi maka hendaknya sang suami mencampurinya. Pendapat ini juga
diambil oleh ulama mutaakhirin dan Imam Ghozali. Menurut saya (Fachmi Al Ghomawangiy); “pendapat ini adalah
pendapat yang baik dan baik jika diamalkan karena selepas haid wanita berada
pada masa ovarium (pembentukan sel telur baru). Yang selama masa haid hasrat
seks wanita tertahan cukup lama (puasa) dan setelah selesai haid wanita
kemudian menuju masa ovarium, masa ovarium ini pada umumnya diiringi hasrat
seks yang cukup tinggi pada wanita disebabkan adanya proses ovarium tersebut.
Dimana masa ini menumbuhkan hasrat seksual yang tinggi pada wanita. Maka
alangkah baiknya jika suami mencampurinya agar hasrat istri bisa diredam dan
tersalurkan. Allahu’alam.”
[10] Silahkan
buka di www.as-syubhat.blogspot.com
pembahasan tentang “hadits tertolak populer”.
[11] Maksud dari
“تُلاَعِبُهَا” disini adalah
bercumbu. Ibnu Hajar menjelaskan arti “تُلاَعِبُهَا” ini adalah suatu kegiatan berciuman antara bibir dengan cara
melumat atau menggigit bibir dan saling menghisap lidah dan masuknya air ludah
antar kedua pasangan. Dan kemudian maksud dari “وَتُلاَعِبُكَ” dan bercumbu mesra denganmu ; artinya adalah Mubasyaroh,
yaitu bersenang senang dengan saling bercumbu, berpelukan, meraba dan lainya
sehingga dalam keadaan menempelnya kulit (telanjang). Namun tidak sampai
Jima’(memasukan dan dimasukan). Hadits ini digunakan oleh para ulama perihal
wajibnya Foreplay-pemanasan- sebelum Jima’.
[12] Apa yang
dimaksud saling masuknya air ludah .
Maksudnya adalah bukan berarti pasangan saling meludahi mulut pasangan bukan.
Namun maksud masuknya air ludah antar pasangan ini adalah sebuah keniscayaan
dalam ciuman bibir dan menghisap lidah, maka dengan adanya kegiatan berciuaman
seperti ini niscaya air ludah dari masing masing akan masuk kemulut pasangan.
Dan inilah yang di maksudkan oleh para ulama. Sedang air ludah memiliki rasa
yang khas yang mampu meningkatkan hasrat keduanya. Dan ciuman seperti inilah
yang disunnahkan dan dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun bila hanya berciuman bibir saja tanpa ada proses menghisap lidah dan
masuknya air ludah, maka ini bukan suatu yang afdhol. Allahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar