Dewasa
ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan kebingungan
dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, siapakah
sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?
Jawab :
Mengetahui
siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan
salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki
kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas
pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah sesuai
dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah empat
belas abad yang lalu.
Pengenalan
akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak
jauh-jauh hari oleh Rasulullah kepada para sahabatnya ketika beliau
berkata kepada mereka :
افْتَرَقَتِ
الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ
النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ
سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ
إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah
terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan)
dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh
dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh
semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al- Jama’ah”.
Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil
Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi
Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.
Demikianlah
umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan
pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakansuatu ketentuan yang
telah ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya
yang harus terlaksana dan Allah I Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal
tersebut.
Syaikh
Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah
terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun
‘Anil Firaqcet. Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata :“(Perpecahan dan
perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah guna menguji hamba-
hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang
lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.
Allah berfirman :
“Alif
laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu
saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Sesungguhnya Kami telah menguji orang- orang yang sebelum mereka, maka
sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia
Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3).
Dan Allah berfirman :
“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang
diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.
Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku
akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka)
semuanya”.(QS. Hud : 10 / 118-119)
“Dan
kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam
petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang
jahil”. (QS. Al-‘An’am : 6 / 35).”
Dan
Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan
kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam
sabda Rasululullah :
قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh
saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang
malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku
kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.
Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- :
خَطَّ
لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا
خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ
يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ
سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ]وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [
“Pada
suatu hari Rasulullah menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau
berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa
garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah
jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”.
Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu
maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang
lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )”.
Diriwayatkan
oleh : Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary
dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah
no.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad
Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343
no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7 dan
dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348, Asy-Syasyi
dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan
Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81.
Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al- Albany dan Syaikh Muqbil
dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi :
Pertama : Definisi Sunnah.
Sunnah
secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun
sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhurdalam Lisanul ‘Arab
17/89 dan Ibnu An-Nahhas.
Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah r bersabda :
مَنْ
سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa
yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang
yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat sunnah yang jelek
maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohihnya no.1017.
Lihat
Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.
Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.
Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni:
-Para
ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang
disandarkan kepada Nabi r baik itu perkataan, perbuatan, taqrir
(persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
-Para
ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang
dari Nabi r selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau,
pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu
atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
-Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi r di bawah hukum wajib.
Adapun
makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang
meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.
Berkata
Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah
dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya
kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).
Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-Muwafaqot 4/4 : “(Kata
sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka dikatakan :
“Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan Nabi
r yang sebelumnya hal tersebut mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan
dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal menyelisihi hal
tersebut (sunnah)”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 4/180 menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau berkata : “Ketahuilah…
bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah dan mengupayakan untuk menempuh
jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala- dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 : “Sunnah
adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh
terhadap apa- apa yang beliau berada di atasnya dan para khalifahnya
yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan
inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak
menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal
yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.
Demikianlah
makna sunnah secara umum dalam istilah para ‘ulama -rahimahumullah- dan
hal itu adalah jelas bagi siapa yang melihat karya-karya para ulama
yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah dimana akan terlihat
bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum seperti :
1. Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.
2. Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.
3. Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.
4. Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
5. Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.
6. Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.
7. Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.
8. dan lain-lainnya.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.
Kedua : Makna Ahlus Sunnah.
Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah-ed.).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka
adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al- Qur’an dan sunnah
Rasulullah r dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu yang
pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik”.
Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal. 281 : “Dan
Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut kebenaran)
dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut perkara- perkara baru
dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat
-radhiyallahu ‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari
orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan
siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi zaman sampai
hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awam di
Timur maupun di Barat bumi -rahmatullahi ’alaihim-”.
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talbis Iblis hal.21 : “Tidak
ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti jejak
Rasulullah r dan jejak para sahabatnya mereka itulah Ahlus Sunnah karena
mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru padanya. Perkara
baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah Rasulullah r dan para
sahabatnya”.
Berkata
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 3/157 :” Termasuk jalan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak Rasulullah secara zhohir dan
batin dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama dari para
(sahabat) Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Rasulullah tatkala
berkata : “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para
khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah
kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian dan
berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena setiap perkara yang
baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.”
Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa 3/375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka
adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah
Rasulullah dan apa-apa yang disepakati oleh generasi dahulu yang pertama
dari kaum Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik”.
Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.
Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus
Sunnah adalah mereka yang kokoh di atas keyakinan yang dinukil kepada
mereka olah para ulama Salafus Sholeh -mudah-mudahan Allah Subhanahu wa
Ta’ala merahmati mereka- dari Rasulullah r atau dari para sahabatnya
-radhiyallahu ‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an
dan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, karena mereka itu
-radhiyallahu ‘anhum- para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti
jejak-jejak mereka dan sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga
tidak butuh ditegakkannya keterangan tentangnya”.
(Lihat : Ar-Raddu ‘Ala Man Ankaral Harf hal.99)
Maka
jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang
makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang
menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan petunjuk Allah dan
Rasul-Nya berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari kalangan para
sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .
Dan
tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas bagi orang yang
memperhatikan hadits- hadits Rasulullah akan disyariatkannya penamaan
Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria di
atas.
Rasulullah r menyatakan dalam hadits ‘Irbath bin Sariyah -radhiyallahu ’anhu- :
صَلَّى
لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ
الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً وَجِلَتْ
مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا
رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ
عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى
اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah
sholat bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada
kami kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar
karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah
seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berwasiatlah kepada
kami”. Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk
bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi
pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia)
karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan
melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian
kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang
mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah
kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah
bid’ah.”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.
Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallahu a’lam.
Lihat
: Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah
1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.
Ketiga : Definisi Jama’ah.
Jama’ah
secara lughoh : Dari kata Al-Jama’ bermakna menyatukan sesuatu yang
terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan mereka
dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah persatuan dan lawannya
adalah perpecahan.”
Adapun
secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna jama’ah yang
tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah, di antara hadits-hadits itu
adalah :
Satu : Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas
Dua : Wasiat Nabi kepada Hudzaifah dalam hadits riwayat Bukhory-Muslim , beliau berkata :
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .”
Tiga : Hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah r bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah”.
Empat : Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah bersabda :
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah di atas Al-Jama’ah”.
Dari
hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di dalam
menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam hadits-hadits
tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran :
Pertama
: Jama’ah adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar dari umat
Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud
dan Abu Ghalib.
Kedua
: Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits,
dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allah I menjadikan
mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada perkara
agama.
Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.
Dan
Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan Ashhabul
Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi siapa mereka”.
Dan
Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para ulama
bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.
Dan
ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahaway, ‘Ali
bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para ulama salaf dan
juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.
Ketiga
: Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits perpecahan
umat yang di sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah
Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para
sahabatku berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil
‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.
Keempat
: Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas
satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh
Imam Asy-Syathiby.
Kelima
: Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di
bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary
dan Ibnul Atsir.
Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.
Demikianlah
penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna Al-Jama’ah, yang
semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1.
Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan
konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling
melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.
2.
Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan
yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum
dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.
3. Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al- Jama’ah kembali kepada dua perkara :
Satu
: Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah
sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap
jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta
terhadap pemimpinnya .
Dua
: Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah r
kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama ahli ijtihad dan
ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut kebenaran.
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
“Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri”.
Berkata
Abu Syamah dalam Al-Ba’its hal.22 : “Dan apabila datang perintah untuk
komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah komitmen
terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut walaupun yang
komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak orang.
Karena kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama r dan para
sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul
bathil setelah mereka.”
Lihat
: Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis
Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah
1/26-32.
Kesimpulan :
Bisa
disimpulkan dari seluruh penjelasan di atas bahwa Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang
berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti
mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat. Wal Ilmu ‘Indallah.
Dikutip dari http://www.an-nashihah.com, Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqornain, Judul asli: Ahlus Sunnah Wal Jam’ah, Siapakah Mereka?
0 komentar:
Posting Komentar