Senin, 24 Juni 2013

SERANGKAIAN ILMU BUAT BEKAL KITA


Mengungkapkan Kemarahan, Menjaga Kemesraan


Suatu saat seorang suami datang kepada saya. Belum saya persilakan masuk, laki‐laki muda ini segera duduk dan berbicara panjang lebar, bahkan sebelum memperkenalkan diri dan bertanya apakah saya punya waktu saat itu. Ia terus saja berbicara. Ketika handphone saya berdering dan kemudian saya berbicara dengan penelpon, lelaki ini tetap saja bercerita dengan meluap‐luap. Saya ke dapur mengambilkan minum untuknya, ia tetap berbicara sendirian. Akhirnya, saya berkesimpulan tamu saya kali ini pastilah mempunyai beban emosi yang sangat berat. Begitu beratnya sehingga ia sudah kehilangan kendali. Ia tak lagi membutuhkan pendengar yang mau mengerti perkataannya. Ia hanya butuh kesempatan untuk menumpahkan isi hati dan kekesalannya dengan tuntas.
Pertemuan pertama hampir tak ada yang bisa digali, kecuali bahwa ia mempunyai konflik yang berat dengan istrinya. Meski waktu masih memungkinkan untuk berbincang panjang dengannya, tetapi saya melihat bukan saat yang tepat. Ibarat komputer, sistemnya perlu di-restart dulu agar bisa melihat masalah sendiri dengan baik. Kali ini, yang paling penting ia bisa menata kembali pikirannya, menyusun kembali kemarahan, kekecewaan, kesedihan dan juga kerapuhan jiwanya dengan baik. Bahasa komputernya, kesempatan pertama lebih banyak saya manfaatkan untuk memberi kesempatan kepadanya melakukan defragmentasi pikiran‐pikiran dan emosinya sehingga ia bisa menempatkannya secara lebih teratur.
Pertemuan berikutnya, saudara kita ini sudah bisa menceritakan secara lebih jelas masalah yang dihadapinya. Meski masih melompat‐lompat dan banyak yang berulang‐ulang, saya mulai bisa menangkap akar masalahnya. Pada pertemuan berikutnya lagi, mulailah kelihatan penyebab konflik rumah‐tangganya yang berlarut‐larut. Di antara penyebab utama per¬tikaian yang menimbulkan kekerasan fisik satu sama lain–istrinya sering bertindak sangat kasar sampai melukai suaminya—adalah kegagalan komunikasi. Keduanya keras, mudah tersinggung sekaligus mudah terbakar emosinya menjadi peri¬laku yang membahayakan.
Sebenarnya, tidak masalah suami‐istri sama‐sama memiliki sifat mudah tersinggung, keras dan mudah marah, sejauh keduanya saling menyadari tentang sifat buruk mereka. Berawal dari saling menyadari ini, mereka belajar untuk saling mengenali penanda emosi dari kedua belah pihak. Istri saya misalnya, tahu saya sedang marah, bad mood (suasana hati sedang negatif) atau pikiran sedang tegang dari rambut saya. Diam‐diam ia rupanya menandai bahwa setiap kali satu dari tiga situasi buruk itu muncul, rambut di ubun‐ubun saya berdiri. Alhasil begitu melihat penanda emosi itu muncul, istri saya segera mengambil langkah yang perlu. Misalnya bertanya apa yang sedang saya alami atau sejenak mengajak anak¬-anak agar tidak gaduh.
Dari sejarah kita belajar, kisah romantis antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istri beliau, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha tak lepas dari kepekaan Rasulullah. Beliau mengenal penanda suka dan marahnya hati ‘Aisyah.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah berkata kepadaku, ‘Sungguh aku dapat mengetahui kapan engkau sedang suka padaku dan bila engkau lagi marah.” ‘Aisyah bertanya, “Darimana engkau tahu?” Rasulullah berkata, “Bila engkau sedang suka padaku, engkau berkata, ‘Demi Tuhannya Muhammad.’ Dan apabila engkau sedang marah padaku, engkau berkata, ‘Sungguh, demi Tuhannya Ibrahim.’ ‘Aisyah berkata, ‘Demi Allah, memang benar ya Rasulallah, yang tidak kusebut hanyalah namamu.” (Riwayat Bukhari & Muslim)
Apa yang bisa kita petik dari Hadits ini? Kepekaan untuk mengenali penanda emosi istri. Berpijak dari mengenali penanda ini, kita bisa menentukan sikap dengan lebih tepat dan menahan diri dari perilaku yang bisa memperkeruh. Jadi, bukan justru menyulut emosi. Inilah yang sering saya sebut sebagai kedewasaan emosi; kemampuan untuk mengenali, mema¬hami dan menerima dengan baik.
Selanjutnya, mereka bisa belajar untuk saling mengomunikasikan emosi negatifnya dengan cara positif. Tidak saling marah, tidak saling memojokkan dan tidak saling menyakiti. Emosi negatif bisa berupa rasa kesal, marah maupun rasa tidak suka. Semuanya ini bisa mengganggu hubungan suami-istri. Jika dibiarkan, komunikasi antar kita akan rentan salah paham dan pertikaian. Tetapi emosi negatif itu bisa diungkapkan dengan cara yang nyaman. Kita mengungkapkan perasaan yang sedang kita alami.
Kita bisa mengatakan, “Maaf, saya lagi marah. Emosi saya lagi negatif.”
Menahan Diri untuk Tidak Menyalahkan
Jika situasinya memungkinkan, suami‐istrinya bisa mengungkapkan emosi negatifnya dengan setuntas‐tuntasnya. Ia bicara secara terbuka sekaligus dengan hati‐hati apa saja yang membuat kita marah atau sakit hati. Tetapi kita harus menahan diri untuk tidak menyalahkan. Kita harus ingat bahwa semarah apa pun kita, komunikasi suami‐istri bertujuan untuk mencapai titik temu terbaik; titik temu yang saling memberi kelegaan, perasaan dihargai dan didengar.
Sampai di sini, kita masih perlu menahan diri untuk tidak terburu‐buru mencari jalan keluar atas masalah yang sedang menyelimuti. Ada kecenderungan, dalam situasi seperti ini kita masih belum bisa berpikir secara jernih. Sebaliknya, kita cenderung masih ingin saling memenangkan pendapat dan bahkan saling memojokkan. Kalau kita sendiri masih belum bisa berpikir jernih, sebaik apa pun jalan keluar yang diajukan oleh suami atau istri kita, tetap saja sulit kita terima apa adanya. Itu sebabnya, kita perlu menahan diri sejenak. Yang paling penting untuk kita raih bersama adalah masing‐masing pihak merasakan adanya iti¬kad baik, sehingga hati akan mudah menemukan kedamaian.
Kalau sekiranya pasangan kita masih meluap‐luap emosinya dan bahkan cenderung memuncak, maka belajar dari Rasulullah kita perlu menahan diri sejenak. Biarlah emosinya reda. Jangan menyalahkan. Jangan pula menuntut. Bahkan andaikan kesalahan itu jelas ada padanya, tahan diri sejenak.
Di saat emosinya masih meluap‐luap, boleh jadi obat yang paling tepat untuk menahan emosi agar tidak semakin menghebat adalah kesediaan untuk mendengar. Kita ikhlaskan diri untuk mendengar luapan emosinya tanpa berkomentar. Kita terima apa adanya tanpa menyalahkan. Kalaupun ada yang salah, kita bisa meluruskannya. Bukan menyalahkan. Itu pun harus menunggu hingga secara emosi, keadaannya menjadi lebih baik.
Kalau emosi sudah reda, masing‐masing sudah saling tahu apa yang tidak mengenakkan hati, kita bisa merencanakan waktu dan tempat yang tepat untuk membicarakan.
Bicarakanlah masalah yang ada dengan santai. Diskusikanlah apa yang sebaiknya kita lakukan dengan tenang dan dari hati ke hati. Wallahu a’lam bis-shawab. NOPEMBER 2012

Didik Mereka Jadi Pemberani


Hari ini, kita menanti lahirnya para pemberani. Tak keluh lidahnya bicara kebenaran. Tak kuyuh langkahnya melihat kesulitan yang menghadang. Mereka menjadi pemberani bukan karena kuat berkelahi. Tetapi anak-anak itu tumbuh menjadi sosok pemberani karena himmahnya (hasrat terbesarnya) akhirat, pegangannya syariat, dan aqidahnya kuat melekat dalam diri. Mereka berani bukan karena dirinya kuat, tetapi karena adanya kendali kuat atas syahwatnya terhadap dunia. Mereka menjadi pemberani karena dirinya ditempa untuk tidak terbiasa dengan tana’um (bernikmat-nikmat).
Tetapi bagaimana mungkin mereka akan mampu menjauh dari tana’um, jika mereka tak mampu men-tasharruf-kan harta dengan benar? Bagaimana mungkin kita dapat mendidik generasi yang tak sibuk berbangga dengan dunia jika mereka tidak dilatih menahan diri?
Hari ini, kita menunggu munculnya generasi yang kepala mereka tegak tatkala berhadapan dengan manusia. Kita menunggu lahirnya generasi yang tak merasa rendah karena berjumpa dengan manusia yang bernampilan wah. Mereka tak menyibukkan diri memuji manusia berdasarkan benda-benda yang dipunyai. Mereka tidak memuliakan, tidak pula merendahkan manusia lainnya karena rupawan tidaknya wajah. Tetapi mereka menilai manusia karena sikap, perjuangan, akhlak, dan kesungguhannya berbenah.
Seseorang dapat memiliki keberanian karena merasa dirinya kuat. Keberanian juga dapat tumbuh karena keinginan untuk menjadi sosok yang membanggakan di hadapan manusia lainnya. Tetapi keberanian semacam ini, selain tak bernilai di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, juga mudah runtuh manakala mereka dihadapkan pada kesulitan serta tiadanya kenikmatan hidup.
Banyak hal yang memerlukan keberanian agar dapat menjalankan Islam dengan sempurna. Ada keberanian menghadapi ancaman, ada keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin menghadang, dan ada pula keberanian yang terkait kesiapan untuk berpayah-payah demi meraih kemuliaan di sisi-Nya. Adapula keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin terjadi terkait dengan hal-hal jauh di masa akan datang, dan ini memerlukan keyakinan tentang dekatnya pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun keberanian untuk berpayah-payah demi meraih kemuliaan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla memerlukan kemampuan menahan diri. Tidak akan mampu seseorang menempuh jalan sulit semata karena ingin meraih ridha Allah Ta’ala, kecuali jika ia memiliki harga diri (‘izzah) yang kuat sebagai seorang Muslim. Dan tidak akan tumbuh ‘izzah yang kokoh, kecuali ada penjagaan diri (‘iffah) yang kuat. Dan ini memerlukan latihan panjang.
Tatkala anak dibesarkan di rumah, anak-anak memperoleh penguatan dari orangtua, saudara, dan anggota keluarga lainnya. Tetapi ketika anak tumbuh di sekolah berasrama, maka harus ada kebijakan pendidikan yang sengaja mengawal anak-anak agar belajar mengendalikan diri dan menjauhi tana’um. Sekolah dapat membatasi jumlah uang saku anak setiap harinya, tetapi pembatasan saja tidak cukup. Harus ada pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyyah) dari pengasuh asrama dan pendidik di sekolah. Harus pula ditumbuhkan suasana penghormatan terhadap sikap terpuji, kegigihan berusaha, integritas, semangat membantu orang lain, kesabaran, dan keimanan. Tanpa itu semua, keberanian yang sesungguhnya serta kendali diri hanya menjadi pengetahuan yang dengan lancar dapat dituangkan penjelasannya saat ujian, tetapi amat jauh dari penghayatan.
Mari kita ingat sejenak nasehat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah, Al-Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnul Ja’d, “Jauhilah orang yang hanyut dalam kemewahan dan senang berhias dengan mode orang asing, bersikaplah dewasa dan berpakaianlah secara sederhana (tidak mewah).”
Berpakaian sederhana merupakan hal yang biasa, jika anak hidup di lingkungan yang membiasakan mereka seperti itu. Kebiasaan ini sangat bermanfaat untuk menjaga orientasi belajar anak sehingga dapat menghadapkan dirinya secara lebih serius dalam menuntut ilmu. Tetapi jika kebiasaan ini hanya berhenti sebatas pembiasaan melalui pengendalian lingkungan (asrama), maka ia akan mudah memudar begitu anak berpindah ke lingkungan lain. Bahkan tak sekadar memudar, ia justru dapat berbalik total dari sederhana menjadi gemar bermewa-mewah. Maka, pembiasaan itu harus didahului dan sekaligus disertai penanaman nilai yang tak putus-putus sehingga anak melakukannya dengan perasaan positif. Anak melakukannya, menghayatinya dan menjadi bagian dari keyakinannya.
Sebaliknya, sangat berat bagi anak untuk hidup sederhana jika teman-teman di sekelilingnya, baik di sekolah maupun asrama hidup dalam suasana memuliakan penampilan, kemewahan, dan kepemilikan. Hidup sederhana berarti menjadi orang asing di tengah-tengah sekumpulan orang yang sangat berbeda. Ini merupakan tantangan yang sangat berat, lebih-lebih jika anak sendiri belum memiliki keinginan untuk menyederhanakan makan dan pakaian. Padahal umumnya anak usia remaja memang belum memiliki keinginan untuk sederhana dalam makan dan pakaian. Jika suasana yang tumbuh di sekolah dan asrama adalah semangat menutup aurat, maka ringan bagi anak untuk mengenakan pakaian apa pun yang dapat menutup aurat secara sempurna. Tapi jika suasana yang tumbuh adalah penampilan, sangat mungkin terjadi anak merasa malu jika tidak menggunakan jilbab merek tertentu.
Mari kita renungkan sejenak atsar dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Saya lebih senang melihat pembaca al-Qur’an itu berpakaian putih.”
Nah.
Jika anak tidak tersibukkan hatinya dari berbangga-bangga terhadap pakaian dan penampilan, maka akan lebih mudah bagi mereka memenuhi hatinya dengan hasrat terhadap ilmu dan akhirat. Lebih ringan langkahnya untuk menghadap hati kepada ilmu. Bukan sekedar berkonsentrasi memusatkan perhatian otak saat belajar.
Tentu saja, mereka harus tetap menjaga muru’ah (kehormatan) sehingga tidak merendahkan martabat mereka maupun kehormatan agama ini. Dan panduan untuk menjaga muru’ah itu adalah agama ini. Sedangkan guru dan pengasuh asrama merupakan penjaganya. Merekalah yang bertugas menegakkan nilai, termasuk penghormatan terhadap nilai-nilai tersebut.
Kelak, jika sekiranya Allah Ta’ala mudahkan rezeki mereka dan melimpahi mereka dengan perbendaharaan dunia, semoga akan ringan hati mereka untuk menolong agama ini dengan harta dan jiwa mereka. Adapun jika mereka mengambil kenikmatan dunia dari harta yang telah Allah Ta’ala berikan kepada mereka, baik berupa makanan, pakaian, kendaraan atau pun selain itu yang halal, dan thayib, maka yang demikian ini semoga senantiasa tak bergeser dari kebaikan.
Kendali Diri Bekal Berani
‘Alaa kulli haal, sederhana dalam berpakaian hanyalah sebagian dari apa yang dapat kita lakukan untuk mendidik anak agar mampu menjauhkan diri dari tana’um. Awalnya melatih dan mendidik mereka untuk mampu membelanjakan harta secara bertanggung-jawab sesuai tuntunan syariat. Bersamaan dengan itu anak belajar mengendalikan diri. Bukan menuruti keinginan. Sungguh, cukuplah orangtua dianggap menyengsarakan anak apabila mereka membiasakan anak hidup mudah. SUARA HIDAYATULLAH, OKTOBER 2012

Masihkah Engkau Usap Anakmu?

Kalau hari ini anak-anak itu menangis, apakah yang akan mereka harapkan tatkala berlarian mendekat kepadamu? Adakah engkau tawarkan kepada mereka setangkup roti ataukah engkau bentangkan tanganmu untuk mendekapnya dengan penuh ketulusan dan kehangatan?
Berbincang tentang ibu, apakah yang mengantarkan orang-orang besar itu meraih kemuliaan dan kehebatannya? Apakah karena cerdasnya seorang ibu dalam mengasuh ataukah tulusnya cinta mereka sehingga bersedia berpayah-payah dan berletih-lelah mendampingi buah hatinya mempelajari kehidupan? Ataukah karena ibu yang mengikhlaskan rasa sakitnya untuk mendidik dan mengasuh anaknya?
Pertanyaan yang sama juga patut kita ajukan ketika kita mendapati kisah orang-orang jenius. Darimanakah mereka berasal? Apakah dari rahim para ibu yang jenius dan mengerti betul tentang kecerdasan maupun bakat anaknya? Atau, pertanyaan itu perlu kita balik sejenak, perlukah seorang ibu mengetahui bakat dan kecerdasan anaknya agar mampu mengantarkan sang buah hati menjadi manusia jenius?
Ini memang pernyataan konyol, tetapi saya serius mengajak Anda untuk menjawab secara jujur seraya merenung; sebelum ada tes bakat, sudah pernah adakah orang-orang yang dikenal luas karena kemampuannya yang cemerlang? Sebelum ada tes IQ, adakah jenius-jenius besar yang mewarnai sejarah? Kita tak dapat mengelak bahwa amat banyak, bahkan amat sangat banyak sosok cemerlang yang pemikiran, temuan dan usaha gigihnya berpengaruh besar terhadap sejarah peradaban manusia hingga hari ini. Sebaliknya, kita masih menunggu –jika benar sesuai klaim mereka—manusia-manusia jenius yang terlahir dari musik Mozart atau pendekatan instant lainnya?
Sejak tahun 1996, telah ratusan ribu kopi keping CD, kaset maupun file digital musik Mozart beredar demi memenuhi mitos bahwa musik Mozart menjadikan anak kita jenius. Tetapi sampai hari ini, tak satu pun jenius yang terlahir darinya. Hasil paling nyata dari mitos tentang musik Mozart yang didengung-dengungkan tanpa pijakan riset ilmiah memadai adalah industri musik dengan keuntungan besar tanpa perlu banyak biaya promosi.
Teringatlah saya dengan pernyataan Alex Ross sebagaimana dapat kita baca pada buku Talent is Overrated karya Geoff Colvin. Ross menyatakan, “Orangtua yang ambisius dan sekarang ini sedang mempertontonkan video “Baby Mozart” kepada bayinya bisa kecewa tatkala mempelajari bahwa Mozart menjadi Mozart karena kerja keras yang luar biasa.”
Cukuplah bagi kita peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menampik mitos tentang musik Mozart. Cepat atau lambat, segala yang bertentangan dengan syariat akan tampak kelemahan dan kekeliruannya.
Mari sejenak kita mengingat sabda Nabi, “Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khamr, dan, alat-alat musik.” (Riwayat Bukhari)
Bagaimana mungkin kita akan mencetak generasi Muslim yang tangguh dan jenius, sementara jalan yang kita tempuh justru bertentangan dengan agama ini?
Di luar itu, buku Colvin sendiri –sebagaimana tercermin dalam judulnya– menunjukkan betapa kita sering berlebihan menilai (overrated) bakat. Kita sibuk mengejar, mengetahui, dan meyakinkan diri tentang bakat anak kita. Sesudahnya kita bersibuk memenjarakan anak dengan hanya memberi rangsangan pada apa-apa yang kita yakini sebagai bakatnya. Padahal boleh jadi, apa yang sekarang tampaknya merupakan bakat anak kita, hanya merupakan bekal awal untuk menuju keunggulan berikutnya yang saat ini justru menjadi titik lemahnya. Banyak dari kita yang meyakini anak memiliki kecerdasan majemuk, tetapi memperlakukannya seakan berbakat tunggal (single talent treatment), yakni hanya menempa apa yang kita anggap sebagai bakatnya berdasarkan hasil tes bakat yang reliabilitas dan validitasnya amat sangat perlu dipertanyakan.
Ironis.
Tetapi, marilah kita kembali pada pertanyaan, perlukah kita mengetahui IQ anak? Pentingkah orangtua memahami bakat anak? Rasanya sedih ketika saya harus menyampaikan bahwa pengetahuan tentang bakat anak hampir tidak ada manfaatnya. Menelusuri hasil-hasil riset yang diungkap oleh Andrew Robinson dalam bukunya bertajuk “Sudden Genius?”, kita terhenyak bahwa pemahaman tentang bakat tak banyak berperan mengantarkan anak menjadi manusia-manusia brilian. Sebaliknya, kita mendapati betapa banyak orang-orang sukses yang justru lahir dari ibu-ibu lugu. Carl Frederich Gauss yang berjuluk “The Princes of Mathematics” lahir dari orangtua tak berpendidikan. Ibunya bahkan buta huruf. Begitu pula sejumlah jenius lain.
Apakah Imam Syafi’i Rahimahullah menjadi sosok yang sangat fenomenal dengan kepakaran yang nyaris tak tertandingi hingga hari ini, lahir dari ibu yang mendalami bakat anak? Tidak. Tes bakat bahkan belum ada saat itu. Apakah Imam Ahmad Rahimahullah yang hafal dan paham puluhan ribu Hadist lahir dari ibu yang telah belajar tentang teknik mengingat instant? Tidak. Tetapi mereka memiliki ketulusan, penerimaan tanpa syarat, cita-cita besar, dan kesediaan untuk berpayah-payah mendampingi anaknya. Mereka tak letih memberi usapan sayang dan sentuhan penuh perhatian kepada buah hatinya. Mereka tak putus-putus mendoakan anaknya. Yang mereka bangun bukan percaya diri anak, tetapi keyakinan yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla semenjak hari-hari awal kehidupan anak.
Pertanyaan, masihkah engkau mengusap anakmu ketika mereka sedang gelisah? Masih adakah ketulusan itu di hatimu? Adakah kerelaan untuk berpayah-payah mengasuh dan mendampingi mereka? Ataukah kita cukup mempercayakan pendidikan mereka kepada sekolah saja? Padahal kelak kitalah yang akan ditanya atas iman anak-anak kita. Ataukah untuk menyiapkan anak-anak agar menjadi pribadi yang cerdas dan cemerlang, kita cukup mengandalkan lembaga bimbingan belajar atau bisnis kecerdasan ajaib yang tak pernah melahirkan manusia jenius?
Menerima secara tulus berarti ridha atas apa yang dikaruniakan kepada kita melalui anak-anak kita. Maka kita bersungguh-sungguh mengasuh mereka, menyayangi mereka, memberi dukungan tatkala mereka menghadapi kesulitan dan bukannya mengambil alih kesulitan tersebut. Semoga dengan demikian anak-anak itu kelak memiliki kesanggupan menghadapi tugas-tugas berat demi memperjuangkan agamanya.
Semoga kelak mata kita disejukkan oleh hadirnya anak-anak yang merelakan keringatnya, hartanya dan letih-lelahnya untuk menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka berpenat-penat karena amat sangat mengingini akhirat. Bukan karena terpukau gemerlap dunia.
Masalahnya, dimanakah kita harus menyekolahkan anak-anak kita agar mereka memperoleh pendidikan yang menghidupkan jiwa mereka, menegakkan iman mereka, dan membangkitkan tekad yang kuat untuk senantiasa memperjuangkan agamanya?* SUARA HIDAYATULLAH AGUSTUS 2012


Menegakkan Adab pada Murid


Perkara yang tampaknya sepele, tetapi paling sulit kita tegakkan adalah niat ikhlas karena Allah Ta’ala dan bertujuan hanya untuk meraih ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Padahal niat merupakan perkara penting yang dengannya nilai amal ditentukan.
Begitu pula dalam menuntut ilmu, niat merupakan aspek tak terlihat yang sangat berpengaruh terhadap apa yang akan mereka peroleh selama belajar. Itu sebabnya, pendidik harus senantiasa mengingatkan mereka dengan penuh kesungguhan dan kreativitas. Seorang pendidik membangun niat pada peserta didik agar mereka siap menjadi murid, yakni pribadi yang secara aktif berkeinginan sangat kuat terhadap kebaikan, kebenaran dan ilmu. Bukan sekadar mendengar, menerima dan mengingat atau mencerna saja.
Sejak kapan kita kenalkan anak dengan masalah niat? Sejak jenjang paling awal pendidikan mereka. Lalu kita berusaha menumbuhkan pada diri mereka niat ikhlas itu tahap demi tahap. Kita menumbuhkan, membangun, menguati, dan merawat niat itu dengan penuh kesungguhan karena niat merupakan masalah yang paling menentukan. Pada saat yang sama, kita perlu kreatif dalam menata niat pada diri murid-murid kita karena sesuatu yang bersifat rutin untuk jangka panjang akan terasa hambar jika kita ingatkan dengan cara yang sama setiap saat.
Mari kita ingat sejenak sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tentang betapa pentingnya niat, “Sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. Sesungguhnya setiap orang itu mendapat sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka pahala hijrahnya adalah pahala hijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsi¬apa berhijrah karena ingin mendapat dunia atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia hanya akan men¬dapatkan apa yang dituju.” (Riwayat Bukhari & Muslim).
Khusus terkait niat menuntut ilmu, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mengharap wajah Allah ‘Azza wa Jalla, lalu tidaklah dia mempelajarinya melainkan untuk mencari keuntungan dunia, maka dia tidak akan mencium aroma surga.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah & Al-Hakim).
Maka betapa celaka orang yang bertekun-tekun menuntut ilmu tapi salah niat, meski yang ia tekuni adalah ilmu dien. Padahal menuntut ilmu merupakan jalan yang memudahkan seseorang meraih surga, sebagaimana sabda Nabi, “Dan barangsiapa yang meniti jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (Riwayat Muslim).
Lihatlah, betapa berbedanya. Sama ilmu yang dipelajari, tetapi beda niat yang menggerakkannya, beda pula nilainya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Jika niat mencari ilmu lurus dan bersih karena Allah Ta’ala, maka baginya ilmu yang penuh barakah; ilmu yang membawa kebaikan bagi yang menguasainya dan bahkan bagi orang lain.
Di sisi lain, lurusnya niat dan kuatnya tekad berpengaruh besar terhadap pribadi murid agar siap berpayah-payah mengejar ilmu. Apa yang mereka dapati di kelas dan berbagai majelis ilmu boleh jadi tidak menyenangkan, cara mengajar guru datar-datar saja, tetapi mereka mampu menikmati proses mencari ilmu tersebut bersebab lurusnya niat dan kuatnya tekad.
Pertanyaannya, apakah yang kita lakukan untuk menumbuhkan, membangun, merawat, dan menguatkan niat anak didik kita? Atau sudahkah kita tumbuhkan kesadaran pada diri mereka tentang niat mencari ilmu?
Menghormati Guru dan Bersabar dalam Memungut Ilmunya
Imam Syafi’i rahimahullah menasehati para penuntut ilmu, “Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: 1. kecerdasan, 2. semangat, 3. sungguh-sungguh, 4. biaya, 5. bersahabat (belajar) dengan ustadz, 6. membutuhkan waktu yang lama.”
Merupakan tugas guru untuk menumbuhkan pada diri anak kesadaran untuk mengerahkan kecerdasannya secara optimal dalam menyerap ilmu dan mengambil manfaat dari penjelasan guru. Pada saat yang sama, guru secara serius dan terencana membangkitkan semangat murid untuk belajar; bukan semata mengajar dengan cara menarik, tetapi terutama bagaimana murid memiliki semangat yang tak putus-putus, meski terik matahari sedang menyengat. Tugas guru menumbuhkan semangat dalam diri anak. Bukan sekadar karena suasana yang kondusif. Dan ini perlu dilakukan di awal anak masuk sekolah, lalu merawatnya hingga masa-masa berikutnya sehingga anak yang semula tidak bergairah di kelas, berubah menjadi sangat merindukan belajar bersama guru.
Nah.
Jika semangat belajar sudah tumbuh dengan baik, maka bekal berikutnya yang harus ditanamkan oleh guru adalah kesediaan murid untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Inilah bekal awal yang perlu mendapat perhatian utama dari guru dan lembaga pendidikan. Di antara bentuk kesungguhan itu adalah kesediaan murid untuk mendahulukan kepentingan pembiayaan belajar daripada pemenuhan keinginan atau bahkan kebutuhan yang lain. Ini bukan berarti keberhasilan sekolah ditentukan oleh biaya yang mahal, tetapi lebih kepada bagaimana murid bersedia menyisihkan uangnya untuk menuntut ilmu lebih daripada pemenuhan keinginan terhadap makanan, pakaian, dan lainnya. Terkait dengan ini, ada tugas penting yang perlu dilakukan oleh guru bersama lembaga pendidikan untuk membekali murid dengan kemampuan men-tasharruf-kan harta dengan tepat sesuai tuntunan syariat.
Wujud lain kesungguhan menuntut ilmu adalah kesediaan meluangkan waktu yang lama dalam belajar. Kesadaran bahwa tiap-tiap ilmu memerlukan waktu panjang untuk menguasainya dengan benar-benar matang juga penting dalam menjaga semangat. Jika kesadaran itu ada, maka murid akan lebih mampu bersabar. Mereka tidak cepat putus asa.
Pada akhirnya, kita harus menanamkan keinginan yang kuat pada diri murid agar bersahabat dengan guru, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghormati guru, mendengarkan dengan penuh perhatian dan menjadikan guru ridha kepadanya. Inilah penentu sukses pendidikan. Selaras dengan itu, guru pun bertanggung-jawab menjadikan murid memiliki penghormatan yang tulus. Guru harus menanamkan sikap ini bukan karena menginginkan penghormatan, tetapi karena sadar betul bahwa ia harus menyiapkan murid untuk memiliki bekal sukses dalam menuntut ilmu, yakni menghormati guru.
Mari kita ingat kembali 3 bekal sukses sebagai murid, yakni percaya kepada guru, menghormati (memuliakan) guru serta memiliki ikatan emosi yang sangat kuat terhadap guru. Bantulah mereka agar dapat memiliki 3 bekal tersebut dengan menanamkan kesadaran, menginspirasi dan menegakkan manner & etiquettes (adab) terhadap guru, baik di sekolah maupun di kelas. Dalam hal ini, sekolah harus memiliki aturan dan batasan efektif. Wallahu a’lam bish-shawab. SUARA HIDAYATULLAH JULI 2012

Kuncinya Pada Guru

Apakah yang dapat kita harapkan dari guru-guru yang datang ke kelas hanya untuk menerangkan mata pelajaran? Apakah yang dapat kita minta dari para guru yang datang ke kelas hanya berbekal pengetahuan sederhana? Apakah yang dapat kita jaminkan atas anak-anak kita jika guru hanya peduli jam mengajar? Sementara tentang murid-muridnya, ia nyaris mengenali kecuali sekadar nama, wajah, dan suaranya saja.
Sungguh, kunci keberhasilan guru terutama terletak pada kompetensi sebagai pengajar, baik kompetensi mengajar maupun kompetensi dalam bidang studi yang ia ajarkan. Tapi sungguh, bukan itu yang paling pokok. Ada yang lebih mendasar lagi, yakni adakah kerisauan besar dalam dirinya yang ia hayati sepenuh hati dan ia perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Ia risau atas keadaan anak-anak di zaman ini. Ia menginginkan kebaikan yang besar pada diri muridnya. Dan ia menghabiskan waktunya dengan memberi perhatian, berjuang dengan sungguh-sungguh dan belajar secara gigih agar dapat mengantarkan anak didiknya menjadi manusia-manusia terbaik sesuai apa yang ia yakini sebagai kualitas ideal manusia.
Tanpa obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para murid menjadi manusia ideal, maka kegiatan mengajar hanya sekadar rutinitas saja. Begitu pula sekadar mampu merumuskan cita-cita secara tertulis, tapi tidak memiliki ikatan emosi dengan cita-cita tersebut, sulit baginya untuk meluangkan waktu bagi murid-muridnya sekaligus melapangkan telinga untuk mendengarkan penuturan murid dengan sepenuh jiwa. Mengajar hanya sekadar kegiatan fisik saja. Ia tidak membekas pada diri guru, tidak pula pada diri murid.
Jika materi yang mudah diingat saja tak membekas, apalagi dengan adab yang memerlukan kesabaran, dorongan, dukungan, dan pendampingan dalam membentuknya. Maka, kunci sangat penting memulai ta’dib (proses pendidikan adab) adalah guru. Adakah para guru yang melakukan ta’dib memiliki kecintaan terhadap murid-muridnya? Adakah para guru amat mengingini bagusnya akhlak anak didik? Bukan agar mudah menangani mereka, tetapi karena mengingini keselamatan anak didik di Yaumil-Qiyamah. Tampaknya tipis perbedaannya, tetapi jauh sekali akibatnya. Merisaukan akhlak anak didik karena mengingini keselamatan mereka di akhirat mendorong kita lebih sabar menghadapi kesulitan. Sementara merisaukan akhlak hanya karena mengingini penanganan anak jadi lebih mudah, membuat kita mudah berpuas diri. Mencukupkan diri dengan yang tampak dan mudah abai terhadap apa yang kurang.
Berkenaan dengan keprihatinan yang amat dalam ini, teringatlah saya dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah [9]: 128).
Sangat mengingini keimanan dan keselamatan. Inilah perkara penting yang harus dimiliki oleh seorang guru yang benar-benar berkeinginan membangun adab pada diri murid-muridnya. Ia bersungguh-sungguh mendidik, memiliki belas-kasih lagi penyayang. Kecintaan itu memang ada di dalam hati. Begitu pula besarnya keinginan untuk membaguskan murid-murid. Tapi ia amat berpengaruh pada kata yang kita ucapkan, adakah ia menjadi perkataan yang membekas ataukah sekadar lewat saja.
Selebihnya, seorang guru perlu memperhatikan adab-adab mengajar. Semoga Allah Ta’ala mudahkan upaya membangun adab pada diri murid.
Lalu, apa saja yang penting untuk diperhatikan:
Tulus Mengajar
Bekal penting yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah ketulusan mengajar. Tidak berharga suatu amal tanpa keikhlasan. Boleh jadi seorang guru memang bekerja pada sebuah lembaga pendidikan. Tetapi di atas itu semua, ia adalah orang yang sangat berpengaruh dalam menempa jiwa anak didik. Maka lebih dari sekadar tugas mengajar, ia harus memiliki ketulusan yang amat dalam sehingga ringan hatinya menyambut kehadiran dan keingintahuan anak didiknya.
Sama pentingnya dengan ketulusan adalah bagusnya penyambutan terhadap anak didik sehingga mereka merasa dicintai oleh gurunya atau pengasuhnya di asrama. Inilah yang akan melahirkan rasa hormat pada diri anak didik terhadap guru. Ini pula yang menjadikan anak didik lebih mudah menerima nasehat dan ilmu dari guru.
Tentang menyambut penuntut ilmu, teringatlah saya pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dari Shafwan bin ‘Asal Al-Muradi. Ia berkata, ”Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam dan beliau di masjid bersandar dengan memakai burdah merah. Saya berkata kepada beliau, ‘Ya Rasul Allah, saya datang untuk menuntut ilmu.”
Beliau bersabda, “Selamat datang penuntut ilmu! Sesungguhnya penuntut ilmu dinaungi oleh para malaikat dengan sayapnya, kemudian mereka saling menumpuk hingga langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang dia pelajari.” (Riwayat Ath-Thabrani).
Ketulusan mengajar itu juga ditampakkan dengan sikap saat bicara, ditampakkan juga saat mendengar murid berbicara. Bukankah kita ingat bagaimana Rasulullah mencondongkan badan ketika mendengarkan lawan bicara?
Tawadhu’
Salah satu kunci sukses seorang murid adalah hormat kepada guru. Dan rasa hormat kepada guru ini akan tertancap lebih kuat dalam diri murid jika ia memiliki seorang guru yang tawadhu’, guru yang rendah hati. Bukan rendah diri. Bukan pula yang gila hormat dan selalu ingin didengar. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan murid memang kesediaan dan kesungguhan mendengarkan ucapan gurunya. Tetapi pada saat yang sama, guru juga perlu menjadikan dirinya sebagai sosok yang pantas untuk senantiasa didengar dan dipatuhi oleh muridnya.
Mari kita ingat sejenak perkataan Anas bin Malik tentang pribadi Rasulullah. Ia berkata, “Tidak ada orang yang paling dicintai oleh para Sahabat melebihi Rasulullah. Walau begitu, ketika melihat Rasulullah mereka tidak berdiri karena mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu.” (Riwayat Bukhari, Ahmad, At-Tirmidzi & Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi).
Hadis ini memberi pelajaran kepada kita tentang sosok guru paling sempurna, Rasulullah. Kecintaan para muridnya –para Sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in– tak diragukan lagi. Tetapi kecintaan yang besar itu tidak menyebabkan mereka berdiri menghormat. Ini merupakan salah satu saja dari sekian banyak pertanda tentang kerendah-hatian beliau sehingga justru menjadikan beliau makin dicintai.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang suka untuk disambut dengan cara berdiri, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Riwayat Abu Dawud).
Mengenali Murid
Hal lain yang perlu dimiliki guru adalah kesediaan dan keinginan untuk mengenali pribadi muridnya dengan baik. Bukan hanya tahu nama dan wajah. Jangankan berbicara dalam konteks pendidikan adab, lebih khusus lagi pendidikan Islam, bicara pendidikan secara umum pun pengenalan yang baik terhadap murid memegang peranan penting. Banyak masalah yang berkembang di kelas maupun asrama karena guru tidak memiliki pengenalan yang baik terhadap murid, sehingga tidak mampu membaca apa yang sedang menjadi keresahan muridnya. Kadang guru bahkan seperti tak peduli dengan keadaan murid.
Pengenalan yang baik terhadap murid memudahkan guru bertindak secara lebih tepat. Selain itu, juga meringankan hati mereka untuk lebih toleran terhadap murid. SUARA HIDYATULLAH MEI 2012

SEMOGA BERMANFAAT~~~~~~~~~~~~~

0 komentar:

Posting Komentar