Rabu, 12 Juni 2013

Seputar cara adan teori tentang Pendidikan

BELAJAR YANG MENYENANGKAN UNTUK ANAK-ANAK

Saat memiliki anak usia sekolah, seringkali orang tua dihadapkan pada kesulitan mengarahkan anaknya untuk tidak melupakan kewajiban belajar.. Memaksakan anak untuk belajar dan meninggalkan waktu bermainnya tentu saja hanya akan membuat si anak menjadi uring-uringan.
Ibarat dua sisi mata uang, bermain dan belajar adalah sinergi yang tidak terpisahkan dari proses tumbuh kembang seorang anak.
Orang tua harus memahami bahwa dengan bermain dapat juga merangsang kepekaan panca indera, meningkatkan kecerdasan, menggali insting dan jiwa sosial pada diri seorang anak, dengan bimbingan yang tepat dari orang tua atau pengasuhnya.
Tips berikut layak anda coba anak tetap bersemangat belajar tanpa mengurangi waktu bermainnya :
  1. Tanamkan pengertian pentingnya belajar, perlu juga anda menemani saat-saat anak belajar sehingga ia lebih termotivasi dan bisa bertanya saat menemui kesulitan.
  2. Beri jeda waktu untuk istirahat, jangan menekan anak untuk terus belajar dalam jangka waktu yang lama. Selain akan membuatnya bosan pada akhirnya justru akan menyebabkan anak marah dan menolak belajar.
  3. Ada manajemen waktu yang jelas, kapan si anak boleh bermain dan kapan saat ia harus belajar.
  4. Jadikan diri anda role model. Anak berkembang dengan cara meniru orang-orang di sekelilingnya, terutama orang tua. Memberi contoh tingkah laku bagi anak lebih efektif dibanding kata-kata.
  5. Bebaskan saat hari libur. Biarkan si kecil menikmati kebebasannya untuk bermain dan berinteraksi dengan teman-temannya. Hal ini juga dapat melatih anak untuk disiplin agar ia menggunakan waktu sebaik mungkin pada saat hari dan jam belajarnya.

Cara Mengasah Kecerdasan Logika-Matematika Siswa (Logical-Mathematical Intelligence)


Kecerdasan Logika-Metematika adalah salah satu dari delapan kecerdasan ganda yang dilontarkan oleh Dr Howard Gardner dalam bukunya “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences” . Ketujuh kecerdasan lainnya yaitu : kecerdasan bahasa, kecerdasan keruangan/Gambar, kecerdasan gerakan, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan alam.
Ciri-ciri siswa dengan kecerdasan Logika-Matematika di antaranya :
  1. Biasanya mempunyai kemampuanyang baik dalam bidang matematika dan system-sistem logika lain yang rumit.
  2. Mereka mengunakan penalaran dan logika serta angka angka dengan baik.
  3. Mereka berfikir  secara konseptual dalam kerangka pola pola angka dan mampu membuat hubungan hubungan antara berbagai  ragam informasi yang didapat.
  4. Mereka selalu ada rasa ingin tahu tentang  dunia disekeliling mereka  dan selalu menanyakan banyak hal serta mau mengerjakan eksperimentasi.
  5. Selalu mempermasalahkan dan menanyakan kejadian-kejadian yang ada, sehingga tak jarang mereka agak tak disukai atau membosankan karena terlalu banyak bertanya.
Adakah siswa di sekolah Bapak/Ibu yang mempunyai ciri-ciri seperti di atas? Jika ada, maka Bapak Ibu guru patut bersyukur karena mempunyai siswa unggulan di bidang logika-matematika. Bapak Ibu guru tinggal mendidik dan mengasah kemampuan mereka.
Adapun kemampuan siswa dengan kecerdasan Logika-Matematika di antaranya :
  1. Kemampuan dalam memecahkan  masalah.
  2. Mengkategorikan dan mengklasifikasi inforrmasi yang diperoleh.
  3. Bekerja dalam konsep abstrak untuk mengketahui hubungan antara konsep.
  4. Mampu menghubungkan rantai-rantai rasio untuk melihat perkembangan satu kegiatan.
  5. Melaksanakan eksperimentasi terkendali.
  6. Mampu mengerjakan perhitungan  matematika yang rumit dan sulit.
Kemunginan karir bagai siswa semacam ini bisa dalam bidang-bidang sbb; menjadi ilmuan, insinyur , ahli riset, akuntan dan ahli matematika.
Cara mengasah kecerdasan Logika-Matematika siswa, di antaranya :
  1. Berikan PR dengan porsi lebih baik dari segi kualitas maupun kuantitas soal.
  2. Berikan selalu reward atas keberhasilan siswa dalam pencapaian suatu tahap tertentu.
  3. Angkatlah ia sebagai tutor sebaya bidang studi matematika.
  4. Tidak ada salahnya Bapak Ibu guru memberikan pengayaan berupa soal-soal setaraf lomba olimpiade MIPA.
Mudah-mudahan postingan sederhana ini dapat menambah khazanah pengetahuan dalam proses pembelajaran, juga menambah wawasan dan inspirasi bagi Anda dan bagi Bapak/Ibu Guru di mana saja berada sehingga dapat lebih memahami karakteristik anak didik kita terutama dalam hal jenis kecerdasan anak didik kita. Pada akhirnya kita bisa memberikan yang terbaik bagi mereka dan menempatkan/memperlakukan mereka pada tempat yang tepat dan semestinya tanpa membeda-bedakan. Apabila Bapak/Ibu guru atau Anda ingin menambahkan dan memberi masukan tentu akan saya terima dengan kedua tangan terbuka dan senang hati.

Pemahaman Siswa Dalam Proses Belajar

1. Pengertian Pemahaman

Menurut W.J.S Poerwodarminto (1994) dalam kamus Bahasa Indonesia, pemahaman berasal dari kata “Paham” yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Definisi di atas, tidak bersifat operasional, sebab tidak memperlihatkan perbuatan psikologis yang diambil seseorang jika ia memahami. Maka arti pemahaman yang bersifat operasional adalah diartikan sebagai melihat suatu hubungan ide tentang suatu persoalan. Sesuatu itu dipahami selagi fakta-fakta mengenai persoalan itu dikumpulkan.
Dalam proses mengajar, hal terpenting adalah pencapaian pada tujuan yaitu agar siswa mampu memahami sesuatu berdasarkan pengalaman belajarnya. Kemampuan pemahaman ini merupakan hal yang sangat fundamental, karena dengan pemahaman akan dapat mencapai pengetahuan prosedur.
Menurut Purwanto (1994:44) pemahaman adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Sementara Mulyasa (2005: 78) menyatakan bahwa pemahaman adalah kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu. Selanjutnya Ernawati (2003:8) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pemahaman adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang disajikan dalam bentuk lain yang dapat dBiologihami, mampu memberikan interpretasi dan mampu mengklasifikasikannya.
Menurut Virlianti (2002:6) mengemukakan bahwa pemahaman adalah konsepsi yang bisa dicerna atau dBiologihami oleh peserta didik sehingga mereka mengerti apa yang dimaksudkan, mampu menemukan cara untuk mengungkapkan konsepsi tersebut, serta dapat mengeksplorasi kemungkinan yang terkait. Sejalan dengan pendapat diatas, pemahaman menurut Hamalik (2003:48) adalah kemampuan melihat hubungan hubungan antara berbagai faktor atau unsur dalam situasi yang problematis.
Suharsimi (2009: 118) menyatakan bahwa pemahaman (comprehension) adalah bagaimana seorang mempertahankan, membedakan, menduga (estimates), menerangkan, memperluas, menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberikan contoh, menuliskan kembali, dan memperkirakan. Dengan pemahaman, siswa diminta untuk membuktikan bahwa ia memahami hubungan yang sederhana di antara fakta – fakta atau konsep. Pembelajaran yang dilaksanakan lebih mengaktifkan siswa untuk telibat selama proses pembelajaran berlangsung. Interaksi antara guru dengan siswa lebih akrab sehingga guru lebih mengenal anak didiknya dengan baik.
Terkait dengan pandangan di atas, saat ini, guru dituntut untuk melakukan inovasi terbaru. Dalam proses belajar biologi, prinsip  belajar harus terlebih dahulu dipilih, sehingga sewaktu mempelajari biologi dapat berlangsung dengan lancar, misalnya mempelajari konsep B yang mendasarkan pada konsep A, seseorang perlu memahami lebih dahulu konsep A. Tanpa memahami konsep A, tidak mungkin orang itu memahami konsep B. Ini berarti mempelajari biologi haruslah bertahap dan berurutan serta mendasarkan pada pengalaman belajar yang lalu.
Jika dikaitkan dengan belajar biologi maka pemahaman terjadi karena evaluasi yang dilakukan guru dalam mempelajari biologi. Agar dapat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan dan pengajaran maka perlu dilakukan usaha dan tindakan atau kegiatan untuk menilai pemahaman siswanya. Faktor lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum dan model pembelajaran). Benyamin Bloom mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu kemampuan kognitif, motivasi berprestasi dan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah kualitas kegiatan belajar mengajar yang dilakukan terkait dengan model pembelajaran yang digunakan.
Kognitif menunjukkan tujuan pendidikan yang terarah kepada kemampuan intelektual, kemampuan berpikir maupun kecerdasan yang akan dicapai. Domain kognitif oleh Benyamin Bloom di bagi menjadi atas 6 kategori yang cenderung hierarkis. (Hamzah B. Uno. 2009:138). Keenam kategori itu adalah: 1). Ingatan, 2). Pemahaman, 3). Aplikasi, 4) Analisis, 5). Sintesis dan 6). Evaluasi. Keenam kategori itu hingga kini masih digunakan sebagai rujukan utama dalam pembuatan rancangan pembelajaran biologi termasuk pembuatan alat ukur berupa tes.
Tujuan kognitif inilah yang selama ini sangat diutamakan dalam pendidikan di Indonesia, kurang memperhatikan domain yang lain. Apabila hal tersebut dibiarkan tersebut menerus tanpa sama sekali memperhatikan domain yang lain, kiranya mudah dipahami kalau hasil pendidikan kita belum maksimal. Berdasarkan berbagai pengertian pemahaman di atas, penulis menyimpulkan pemahaman adalah suatu cara yang sistematis dalam memahami dan mengemukakan tentang sesuatu yang diperolehnya.
Setiap materi pembelajaran biologi berisi sejumlah konsep yang harus disukai siswa. Pengertian konsep menurut Ruseffendi (1998:157) adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan kita untuk mengklasifikasikan atau mengelompokkan objek atau kejadian itu merupakan contoh dan bukan contoh dari ide tersebut.  Pemahaman konsep sangat penting, karena dengan penguasaan konsep akan memudahkan siswa dalam mempelajari biologi. Pada setiap pembelajaran diusahakan lebih ditekankan pada penguasaan konsep agar siswa memiliki bekal dasar yang baik untuk mencapai kemampuan dasar yang lain seperti penalaran, komunikasi, koneksi dan pemecahan masalah.
Penguasan konsep merupakan tingkatan hasil belajar siswa sehingga dapat mendefinisikan atau menjelaskan sebagian atau mendefinisikan bahan pelajaran dengan menggunakan kalimat sendiri. Dengan kemampuan siswa menjelaskan atau mendefinisikan, maka siswa tersebut telah memahami konsep atau prinsip dari suatu pelajaran meskipun penjelasan yang diberikan mempunyai susunan kalimat yang tidak sama dengan konsep yang diberikan tetapi maksudnya sama.
Menurut Patria (2007:21) mengatakan apa yang dimaksud pemahaman konsep adalah kemampuan siswa yang berupa penguasaan sejumlah materi pelajaran, dimana siswa tidak sekedar mengetahui atau mengingat sejumlah konsep yang dipelajari, tetapi mampu mengungkapan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan interprestasi data dan mampu mengaplikasikan konsep yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan definisi pemahaman konsep adalah Kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengemukakan kembali ilmu yang diperolehnya baik dalam bentuk ucapan maupun tulisan kepada orang sehingga orang lain tersebut benar-benar mengerti apa yang disampaikan.

2. Tingkatan Pemahaman Siswa terhadap suatu konsep

W.J.S Purwadarminto dalam kamus Bahasa Indonesi mengartikan pemahaman siswa dengan proses, perbuatan, dan cara memahami sesuatu. Pemahaman siswa terhadap suatu konsep tumbuh dari pengalaman, disamping berbuat, seseorang juga menyimpan hal-hal yang baik dari perbuatannya itu. Melalui pengalaman terjadilah pengembangan lingkungan seseorang hingga ia dapat berbuat secara intelegen melalui peramalan kejadian. Dalam pengertian disini kita dapat mengatakan seseorang memahami suatu obyek, proses, ide, fakta jika ia dapat melihat bagaimana menggunakan fakta tersebut dalam
berbagai tujuan.
Pemahaman (understanding) pada pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua. Menurut Skemp (1976) dalam Wahyudi (2001). Pemahaman yang pertama disebut pemahaman instruksional (instructional understanding). Pada tingkatan ini dapat dikatakan bahwa siswa baru berada di tahap tahu atau hafal tetapi dia belum atau tidak tahu mengapa hal itu bisa dan dapat terjadi. Lebih lanjut, siswa pada tahapan ini juga belum atau tidak bisa menerapkan hal tersebut pada keadaan baru yang berkaitan. Selanjutnya, pemahaman yang kedua disebut pemahaman relasional (relational understanding). Pada tahapan tingkatan ini, menurut Skemp, siswa tidak hanya sekedar tahu dan hafal tentang suatu hal, tetapi dia juga tahu bagaimana dan mengapa hal itu dapat terjadi. Lebih lanjut, dia dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait pada situasi lain.
Menurut Byers dan Herscovics dalam Wahyudi (2001) dalam menganalisis ide Skemp perlu pengembangan lebih jauh. Siswa terlebih dahulu diarahkan berada pada tingkatan pemahaman antara, yaitu tingkatan pemahaman intuitif (intuitive understanding) dan tingkatan pemahaman formal (formal understanding). Pertama, sebelum sampai pada tingkatan pemahaman instruksional, siswa terlebih dahulu berada pada tingkatan pemahaman intuitif. Mereka mendefinisikannya sebagai berikut. “Intuitive understanding is the ability to solve a problem without prior analysis of the problem.” Pada tahap tingkatan ini siswa sering menebak jawaban berdasarkan pengalaman-pengalaman keseharian dan tanpa melakukan analisis terlebih dahulu. Akibatnya, meskipun siswa dapat menjawab suatu pertanyaan dengan benar, tetapi dia tidak dapat menjelaskan kenapa (why). Kedua, sebelum siswa sampai pada tingkatan pemahaman relasional, biasanya mereka akan melewati tingkatan pemahaman antara yang disebut dengan pemahaman formal.
Selanjutnya Buxton (1978) dalam Wahyudi (2001) juga menanggapi pendapat Skemp tersebut dan mengembangkan dua pemahaman dari Skemp menjadi empat pemahaman. Pemahaman pertama disebut pemahaman meniru (rote learning). Pada tingkatan ini siswa dapat mengerjakan suatu soal tetapi tidak tahu mengapa. Pemahaman kedua disebut pemahaman observasi (observational understanding). Pada tingkatan ini siswa menjadi lebih mengerti setelah melihat adanya suatu pola (pattern) atau kecenderungan. Pemahaman ketiga yang disebutnya sebagai tingkatan pemahaman pencerahan (insightful understanding). Pemahaman keempat adalah tingkatan pemahaman relasional, pada tingkatan pemahaman ini, siswa tidak hanya tahu tentang penyelesaian suatu masalah, melainkan dia juga dapat menerapkannya pada situasi lain, baik yang relevan maupun yang lebih kompleks.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemahaman Siswa

Para ahli pendidikan terutama yang concern terhadap psikologi pendidikan dan psikologi pembelajaran turut terlibat memikirkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran terutama faktor yang mempengaruhi pemahaman dan belajar siswa. Dengan pandangan yang lebih konseptual  Purwanto (1997:106) mengemukakan beberapa  faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran siswa. Secara garis besar, Ahmadi dan Prasetya (1997:103) membagi faktor-faktor tersebut sebagai berikut :
1)  Faktor raw input (faktor murid/anak itu sendiri) dimana tiap anak memiliki kondisi yang berbeda-beda dalam :
a)  Kondisi fisiologis.
b)  Kondisi psikologis.
2)  Faktor enviromental input (faktor lingkungan), baik lingkungan alami ataupun lingkungan sosial.
3)  Faktor instrumental input, antara lain terdiri dari :
a)  Kurikulum.
b)  Program / bahan pengajaran.
c)  Sarana dan fasilitas.
d)  Guru (tenaga pengajar).
Selanjutnya akan diuraikan secara singkat faktor-faktor tersebut yang meliputi faktor dari luar dan faktor dari dalam.
1)  Faktor dari luar
a)  Faktor enviromental input (faktor lingkungan)
Kondisi lingkungan yang mempengaruhi proses dan hasil belajar meliputi lingkungan alami dan lingkungan sosial. Lingkungan alami dapat berupa keadaan suhu, kelembaban udara, dan sebagainya. Belajar dalam keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya dari pada belajar pada keadaan udara panas.
Lingkungan sosial, dapat berwujud manusia maupun representasi (wakil) manusia seperti potret, rekaman, dan sebagainya. Lingkungan sosial yang lain, seperti suara mesin pabrik atau gemuruhnya pasar, serta lingkungan sosial yang jorok pun dapat mengganggu belajar, misalnya dekat dengan lokalisasi WTS.
b)  Faktor instrumental
Faktor-faktor instrumental adalah faktor-faktor yang pengadaan dan penggunaannya dirancangkan sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor instrumental ini dapat berwujud faktor-faktor keras (hardware), seperti gedung, perlengkapan belajar, alat-alat praktikum, perpustakaan dan sebagainya. Maupun faktor-faktor lunak (software), seperti kurikulum, bahan yang harus dipelajari, pedoman-pedoman belajar, dan sebagainya (Ahmadi dan Prasetya, 1997 : 106).
2)  Faktor dari dalam
Faktor dari dalam adalah kondisi individu atau anak yang belajar, terdiri dari kondisi fisiologis dan psikologis anak.
a)  Kondisi fisiologis anak
Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar anak. Mengenai fisiologis ialah bagaimana kondisi fisiknya dan panca inderanya. Secara umum kondisi fisiologis seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan capai atau cacat jasmani, akan sangat membantu dalam proses dan hasil belajar.
Di samping kondisi fisiologis umum, yang tidak kalah pentingnya dalam kondisi fisiologis anak adalah kondisi panca indera, terutama indera penglihatan dan pendengaran. Sebagian besar orang yang melakukan belajar tidak lepas dari indera penglihatan dan pendengaran, karena itulah guru yang baik akan memperhatikan keadaan panca indera anak didiknya.
b)  Kondisi psikologis anak
(1)  Minat
Minat sangat mempengaruhi proses dan hasil belajar. Jika seseorang tidak berminat untuk mempelajari sesuatu, maka tidak diharapkan dia akan berhasil dalam mempelajari hal tersebut, sebaliknya jika seseorang belajar dengan penuh minat maka hasil yang diharapkan akan lebih baik. Oleh karena itu, para pendidik hendaknya memperhatikan begaimana mengusahakan agar hal yang disajikan sebagai pengalaman belajar dapat menarik minat para pelajar, atau bagaimana caranya menentukan agar para pelajar belajar mengenai hal-hal yang menarik minat mereka.
(2) Kecerdasan
Kecerdasan besar peranannya dalam berhasil dan tidaknya seseorang mempelajari sesuatu atau mengikuti sesuatu program pendidikan. Orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih mampu belajar darBiologida orang yang kurang cerdas. Hasil pengukuran kecerdasan biasa dinyatakan dengan angka yang menunjukkan“ perbandingan kecerdasan” yang terkenal dengan IQ (Intelligence Quotient). Dengan memahami taraf IQ setiap anak, maka seorang guru akan dapat memperkirakan tindakan yang harus diberikan kepada anak didiknya secara tepat.
(3)  Bakat
Bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat akan memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Anak yang memiliki bakat yang tinggi, disebut anak berbakat. Secara definitif, anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang yang berkualifikasi profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi, karena mempunyai kemampuan – kemampuan yang tinggi.
(4)  Motivasi
Menurut Nasution (1997 : 8), motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Penemuan – penemuan penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar pada umumnya meningkat jika motivasi untuk belajar bertambah. Maka, meningkatkan motivasi belajar anak didik penting untuk mencapai hasil belajar yang optimal (Ahmadi dan Prasetya : 1997 : 109).
Ada dua macam motivasi, yaitu motivasi intrinsik (motivasi yang timbul dari dalam diri seseorang tanpa ada paksaan dari orang lain) dan motivasi ekstrinsik (motivasi yang timbul akibat pengaruh dorongan dari luar individu). Motivasi intrinsik pada umumnya lebih efektif darBiologida motivasi ekstrinsik. Guru yang baik harus berusaha untuk membengkitkan motivasi anak agar mau belajar.
(5)  Kemampuan – kemampuan kognitif
Kemampuan – kemampuan kognitif merupakan faktor-faktor yang penting dalam kegiatan belajar para siswa atau anak didik. Hal ini terjadi karena dalam menentukan keberhasilan belajar anak di sekolah masih lebih mengutamakan aspek kognitif, sedangkan aspek afektif dan aspek psikomotor yang merupakan aspek lain dari tujuan pendidikan lebih bersikap pelengkap. Kemampuan-kemampuan kognitif itu terutama adalah persepsi, ingatan, dan berfikir. Kemampuan seseorang dalam melakukan persepsi, mengingat, dan berpikir sangat besar pengaruhnya terhadap hasil belajarnya.
Setelah diketahui berbagai faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar tersebut, maka hal yang penting dilakukan adalah mengatur faktor-faktor tersebut sehingga dapat mempengaruhi dalam mencapai hasil belajar yang optimal. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor tersebut akan saling mempengaruhi satu sama lain dalam menciptakan hasil belajar tertentu.



Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran


Abstrak. Pengembangan kemampuan berpikir kristis dan kreatif serta memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan siswa adalah penting. Kesadaran ini perlu dijadikan pijakan dalam pengembangan kurikulum dengan mengedepankan pembelajaran konstekstual. Untuk itu para guru perlu berbuat, merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar. Kemampuan berpikir kristis dan kreatif dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran. Kemampuan itu da mencakup beberapa hal, diantaranya, (1) membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, (2) mengaplikasikan pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di dalam atau di luar sekolah, (3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif, (4) mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit, (5) meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan (6) bersikap terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik
A. Pendahuluan
Sering kita mendengar ungkapan dari seorang guru mengenai banyaknya siswa yang `tidak berpikir’. Mereka pergi ke sekolah tetapi cara belajar mereka terbatas mendengarkan keterangan guru, kemudian tidak mencoba memahami materi yang diajarkan oleh guru. Saat ujian, para siswa mengungkapkan kembali materi yang telah mereka hafalkan itu. Cara belajar seperti ini, bukanlah suatu keberhasilan, dan merupakan cara belajar yang tidak kita inginkan. Mengenai nilai dan ujian, harus diakui bahwa siswa tersebut bisa menjawab pertanyaan.
Sebagian dari mereka mungkin mendapat nilai yang tinggi dan dianggap siswa yang sukses. Meskipun belum ada hasil penelitian yang kongkret, bahwa seandainya para siswa tersebut ditanya-setelah ujian selesai-apakah mereka masih ingat materi yang telah mereka pelajari, maka tidak heran kalau mereka sudah lupa apa yang telah mereka pelajari.
Proses pembelajaran sebagaimana digambarkan di atas banyak kita temukan di sekolah-sekolah. Proses pembelajaran baru dilaknasakan untuk mencapai tujuan pembelajaran pada tingkat rendah yakni mengetahui, memahami, dan menggunakan belum mampu menumbuhkan kebiasaan berpikir kreatif yakni suatu yang paling esensi dari dimensi belajar. Sebagian besar guru belum merancang pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir (Kamdi, 2002)
Proses pembelajaran sebagian besar masih menjadikan anak tidak bisa, menjadi bisa. Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan menghadiri, mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara tertulis soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran baru diimplementasikan pada tataran proses menyampaikan, memberikan, mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa.
Dalam tataran ini siswa yang sedang belajar bersifat pasif, menerima apa saja yang diberikan guru, tanpa diberikan kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia karena diberi otak, dibelenggu oleh guru. Siswa yang jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya diberdayagunakan, difasilitasi, dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk berpikir, bernalar, berkolaborasi, untuk mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan minat dan kebutuhannya serta diberi kebebasan untuk belajar. Pemahaman yang keliru bahkan telah menjadi "mitos" bahwa belajar adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi kembali pengetahuan yang selama ini diyakini banyak tenaga keguruan perlu dirubah. Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku Belajar Cerdas, menyatakan bahwa belajar itu harus berbasis otak. Dengan kata lain revolusi belajar dimulai dari otak. Otak adalah organ paling vital manusia yang selama ini kurang dipedulikan oleh guru dalam pembelajaran. Pakar komunikasi mengungkapkan kalau kita ingin cerdas maka kita harus terlebih dahulu menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan
Sebenarnya para guru telah menyadari bahwa pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas, kritis, dan kreatif serta mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-­hari adalah penting. Kesadaran ini juga telah mendasari pengembangan kurikulum kita yang kini lebih lebih mengedepankan pembelajaran konstekstual. Akan tetapi sebagian benar guru belum berbuat, belum merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis proses belajar (Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998)
Menurut pandangan Slavin (1997) dalam proses pembelajaran guru hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuannnya sendiri dalam dengan mendayagunakan otaknya untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara-cara membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih relevan bagi kebutuhan siswa. Caranya dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999), guru sebaiknya hanya memberi "tangga" yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.

B. Pembahasan
Definisi berpikir masih diperdebatkan dikalangan pakar pendidikan. Diantara mereka masih terdapat pandangan yang berbeda-beda. Walaupun tafsiran mereka itu berbeda-beda, namun umunya para tokoh pemikir bersetuju bahwa pemikiran dapat dikaitkan dengan proses untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Berpikir ialah proses menggunakan pikiran untuk mencari makna dan pemahaman terhadap sesuatu, menerokai pelbagai kemungkinan idea atau ciptaan dan membuat pertimbangan yang wajar, bagi membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dan seterusnya membuat refleksi dan metakognisi terhadap proses yang dialami. Berpikir adalah kegiatan memfokuskan pada eksplorasi gagasan, memberikan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mencari jawaban-jawaban yang lebih benar.
Dalam konteks pembelajaran, pengembangan kemampuan berpikir ditujukan untuk beberapa hal, diantaranya adalah (1) mendapat latihan berfikir secara kritis dan kreatif untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, misalnya luwes, reflektif, ingin tahu, mampu mengambil resiko, tidak putus asa, mau bekerjasama dan lain lain, (2) mengaplikasikan pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di dalam atau di luar sekolah, (3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif, (4) mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit, (5) meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan seterusnya perkembangan intelek mereka, dan (6) bersikap terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik
Pengembangan kemampuan berpikir mencakup 4 hal, yakni (1) kemampuan menganalisis, (2) membelajarkan siswa bagaimana memahami pernyataan, (3) mengikuti dan menciptakan argumen logis, (4) mengiliminir jalur yang salah dan fokus pada jalur yang benar (Harris, 1998). Dalam konteks itu berpikir dapat dibedakan dalam dua jenis yakni berpikir kritis dan berpikir kreatif. Bila dielaborasi perbedaan kedua jenis berpikr tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1: Perbandingan Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif.
No
Berpikir KritisBerpikir Kreatif
1
AnalitisMencipta
2
MengumpulkanMeluaskan
3
HirarkisBercabang
4
PeluangKemungkinan
5
MemutuskanMenggunakan keputusan
6
MemusatMenyebar
7
ObyektifSubyektif
8
MenjawabSebuah jawaban
9
Otak kiriOtak kanan
10
Kata-kataGambaran
11
SejajarHubungan
12
Masuk AkalKekayaan, kebaruan
13
Ya, akan tetapi....Ya, dan ………


1. Berpikir Kritis
Berpikir kristis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Berikut adalah contoh-contoh kemampuan berpikir kritis, misalnya (1) membanding dan membedakan, (2) membuat kategori, (2) meneliti bagian-bagian kecil dan keseluruhan, (3) menerangkan sebab, (4) membuat sekuen / urutan, (5) menentukan sumber yang dipercayai, dan (6) membuat ramalan.
Menurut Perkin (1992), berpikir kritis itu memiliki 4 karakteristik, yakni (1) bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan logis, (2) memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dan membuat keputusan, (3) menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar, (4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. Sedangkan Beyer (1985) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan, Menurut Harris, Robert (1998) indikasi kemampuan berpikir kristis ada 13, yakni (1) analytic, (2) convergent, (3) vertical, (4) probability, (5) judgment, (6) focused, (7) Objective, (8) answer, (9) Left brain, (10) verbal, (11) linear, (12) reasoning, (13) yes but.
Berpikir kritis menurut Schafersman, S.D. (1991) adalah berpikir yang benar dalam rangka mengetahui secara relevan dan reliable tentang dunia. Berpikir kritis, adalah berpikir beralasan, mencerminkan, bertanggungjawab, kemampuan berpikir, yang difokuskan pada pengambilan keputusan terhadap apa yang diyakini atau yang harus dilakukan. Berpikir kritis adalah berpik mengajukan pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan informasi yang relevan, mengurutkan informasi secara efisien dan kreatif, menalar secara logis, hingga sampat pada kesimpulan yang reliable dan terpercaya.
Berpikir kritis itu menurutnya ada 16 karakteristik, yakni (1) menggunakan bukti secara baik dan seimbang, (2) mengorganisasikan pemikiran dan mengungkapkannya secara singkat dan koheren, (3) membedakan antara kesimpulan yang secara logis sah dengan kesimpulan yang cacat, (4) menunda kesimpulan terhadap bukti yang cukup untuk mendukung sebuah keputusan, (5) memahami perbedaan antara berpikir dan menalar, (6) menghindari akibat yang mungkin timbul dari tindakan-tindakan, (7) memahami tingkat kepercayaan, (8) melihat persamaan dan analogi secara mendalam, (9) mampu belajar dan melakukan apa yang diinginkan secara mandiri, (10) menerapkan teknik pemecahan masalah dalam berbagai bidang, (11) mampu menstrukturkan masalah dengan teknik formal, seperti mate­matika, dan menggunakannya untuk memecahkan masalah, (12) dapat mematahkan pendapat yang tidak relevan serta merumuskan intisari, (13) terbiasa menanyakan sudut pandang orang lain untuk memahami asumsi serta implikasi dari sudut pandang tersebut, (14) peka terhadap perbedaan antara validitas kepercayaan dan intensitasnya, (15) menghindari kenyataan bahwa pengertian seseorang itu terbatas, bahkan terhadap orang yang tidak bertindak inkuiri sekalipun, dan (16) mengenali kemungkinan kesalahan opini seseorang kemungkinan bias opini, dan bahaya bila berpihak pada pendapat pribadi.
Metode ilmiah merupakan metode paling ampuh yang pernah ditemukan manusia dalam rangka mengumpulkan pengetahuan. yang relevan dan reliabel tentang alam. Metode non ilmiah lebih mengarah pada emosi dan harapan umat manusia dan lebih mudah dipelajari dan dipraktekkan daripada metode ilmiah. Meningkatkan pengajaran metode ilmiah dan manifestasinya yang terkenal yaitu berpikir kritis.
Berpikir kritis dapat diajarkan melalui:(1) perkuliahan, (2) laboratorium, (3) tugas rumah, (4) Sejumlah latihan, (5) Makalah, dan (6) ujian. Dengan demikian berpikir kritis dapat dimasukkan dalam kurikulum dengan mempertimbangkan: (1) siapa yang mengajarkan, (2) apa yang diajarkan, (3) kapan mengajarkan, (4) bagaimana mengajarkan, (5) bagaimana mengevaluasi, dan (6) menyimpulkan.
Sejumlah tujuan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis diantaranya adalah (1) memberikan guru umum tentang konsep dalam rangka mencapai tujuan melalui petunjuk yang membantu, (2) merancang pembelajaran dengan menggunakan web dan isu yang bermanfaat, (3) memadukan berbagai hasil guruan, (4) mendorong komunitas belajar di dalam kelas, (5) menciptakan kesempatan berpikir kritis yang menyenangkan dan relevan bagi siswa.
Sedangkan strategi yang dapat digunakan guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa antara lain adalah (1) mengadakan alas penilaian untuk memberikan final siswa. Menciptakan masalah merupakan 20% dari keseluruhan nilai, (2) mendeskripsikan syarat pelajaran secara mendetail sesuai silabus dengan menambah area online (alamat website) yang dapat menyediakan akses informasi secara mudah, (3) memberikan orientasi pelajaran, (4) instruktur memberi pendapat untuk siswa dalam pemberian masalah lewat e-mail untuk memberi penguatan yang positif, dan beberapa hasil pelajaran dipadukan setelah pembelajaran usai.

2. Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan. Penelitian Brookfield (1987) menunjukkan bahwa orang yang kreatif biasanya (1) sering menolak teknik yang standar dalam menyelesaikan masalah, (2) mempunyai ketertarikan yang luas dalam masalah yang berkaitan maupun tidak berkaitan dengan dirinya, (3) mampu memandang suatu masalah dari berbagai perspektif, (4) cenderung menatap dunia secara relatif dan kontekstual, bukannya secara universal atau absolut, (5) biasanya melakukan pendekatan trial and error dalam menyelesaikan permasalahan yang memberikan alternatif, berorientasi ke depan dan bersikap optimis dalam menghadapi perubahan demi suatu kemajuan. Marzano (1988) mengatakan bahwa untuk menjadi kreatif seseorang harus: (1) bekerja di ujung kompetensi bukan ditengahnya, (2) tinjau ulang ide, (3) melakukan sesuatu karena dorongan internela dan bukan karena dorongan eksternal, (4) pola pikir divergen/ menyebar, (5) pola pikir lateral/imajinatif.
Sedangkan Haris (1998) dalam artikelnya tentang pengantar berpikir kreatif menyatakan bahwa indikator orang berpikir kreatif itu meliputi: (1) Ingin tahu, (2) mencari masalah, (3) menikmati tantangan, (4) optimis, (5) mampu membedakan penilaian, (6) nyaman dengan imajinasi, (7) melihat masalah sebagai peluang, (8) melihat masalah sebagai hal yang menarik, (8) masalah dapat diterima secara emosional, (9) menantang anggapan/ praduga, dan (10) tidak mudah menyerah, berusaha keras. Dikatakanya bahwa kreativitas dapat dilihat dari 3 aspek yakni sebuah kemampuan, perilaku, dan proses.
a. Sebuah kemampuan
Kreativitas adalah sebuah kemampuan untuk memikirkan dan menemukan sesuatu yang baru, menciptakan gagasan­-gagasan baru baru dengan cara mengkombinasikan, mengubah atau menerapkan kembali ide-ide yang telah ada.
b. Sebuah perilaku
Kreativitas adalah sebuah perilaku menerima perubahan dan kebaruan, kemampuan bermain-main dengan berbagai gagasan dan berbagai kemungkinan, cara pandang yang fleksibel, dan kebiasaan menikmati sesuatu.
c. Sebuah proses
Kreativitas adalah proses kerja keras dan berkesimbungan dalam menghasilkan gagasan dan pemecahan masalah yang lebih baik, serta selalu berusaha untuk menjadikan segala sesuatu lebih baik.
Selanjutnya Harris juga menyatakan bahwa untuk dapat berpikir kreatif seseorang perlu memiliki metode berpikir kreatif. Berbagai metode yang dapat dilakukan antara lain: (1) evolusi, yakni gagasan-gagasan baru berakar dari gagasan lain, solusi-solusi baru berasal dari solusi sebelumnya, hal-hal baru diperbaiki/ditingkatkan dari hal-hal lama, setiap permasalahan yang pernah terpecahkan dapat dipecahkan kembali dengan cara yang lebih baik , (2) sintesis, yakni adanya dua atau lebih gagasan-­gagasan yang ada dipadukan ke dalam gagasan yang baru, (3) revolusi, yakni gagasan baru yang terbaik merupakan hal yang benar-benar baru, sebuah perubahan dari hal yang pernah ada, (4) penerapan ulang, yakni melihat lebih jauh terhadap penerapan gagasan, solusi, atau sesuatu yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat dilihat penerapan lain yang mungkin dapat dilakukan, dan (5) mengubah arah, yakni perhatian terhadap suatu masalah dialihkan dari satu sudut pandang tertentu ke sudut pandang yang lain. Hal ini dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah, bukan untuk menerapkan sebuah pemecahan masalah
Pada bagian lain dinyatakan bahwa perilaku negatif yang menghambat untuk berpikir kreatif, diantaranya adalah:
a. Oh tidak, sebuah masalah !
Reaksi terhadap sebuah masalah seringkali lebih besar dari pada masalah itu sendiri. Sebuah masalah adalah kesempatan dan tantangan untuk meningkatkan segala sesuatu. Masalah adalah (1) perbedaan yang ada dengan keadaan yang diinginkan, (3) menyadari atau mempercayai bila ada sesuatu yang lebih baik dari situasi saat ini, dan (3) kesempatan untuk bertindak positif.
b. lni mustahil untuk dilakukan
Perilaku seperti ini, seperti kalah sebelum bertarung. Beberapa ungkapan yang terkait dengan ini : (1) manusia tidak akan pernah terbang, (2) penyakit tak bisa ditaklukan, (3) roket tidak akan keluar dari atmosfir.
c. Aku tidak bisa melakukannya atau tak ada yang bisa dilakukan
Pemikiran yang baik dan perilaku yang positif serta kemampuan memecahkan masalah akan melesat dalam memecahkan berbagai permasalahan. Untuk dapat melakukan hal ini kuncinya adalah ketertarikan dan komitmen terhadap masalah itu sendiri.
d. Tapi saya tidak kreatif
Masalahnya ternyata bahwa kreativitas telah ditenggelamkan oleh guruan. Yang perlu dilakukan adalah mengembalikan ke permukaan.
e. Itu kekanak-kanakkan
Dalam upaya kita untuk selalu tampil dewasa dan anggun, kita sering menganggap rendah perilaku yang kreatif dan penuh permainan, yang pernah menandai masa kanak-kanak kita sendiri. Terkadang orang tertawa karena memang ada yang lucu. Tapi sering kali orang justru tertawa ketika mereka miskin akan imajinasi untuk memahami situasi yang ada.
f. Apa yang akan dipikirkan orang
Terdapat tekanan sosial untuk menyesuaikan diri untuk menjadi orang biasa saja, bukan menjadi orang kreatif. Hampir sebagian orang besar kontributor terkenal yang membawa ke peradapan lebih maju dihina, bahkan dihukum. Kemajuan hanya diciptakan oleh mereka yang cukup tegar untuk ditertawakan.
g. Aku pasti gagal
Thomas Edison, dalam risetnya untuk menemukan filamen yang dapat memijarkan lampu, melakukan lebih dari 1800 kali percobaan. Kegagalan haruslah diharapkan dan diterima. Kegagalan adalah alat untuk belajar yang dapat membantu menuju keberhasilan. Gagal adalah pertanda bahwa kita melakukan sesuatu, berusaha dan mencoba-jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.
Sedangkan hambatan mental terhadap berpikir kreatif dan pemecahan masalah, meliputi:
a. Pransangka
Gambaran yang kita miliki seringkali menghalangi kita untuk melihat lebih jauh dari pada apa yang telah kita ketahui dan percayai, sehingga menjadikan sesuatu itu mungkin ada dan mungkin teijadi.
b. Pendapat fungsional
Terkadang kita mulai melihat sebuah obyek hanya dari namanya, daripada melihat apa yang bisa dilakukannya.
c. Tak ada bantuan belajar
Jika anda memerlukan informasi, ada perpustakaan, toko buku, teman, profesor dan internet. Anda dapat belajar melakukan apapun yang anda inginkan.
d. Hambatan psikologi
Apa yang semula dianggap menjijikkan malah dapat membawa kepada solusi yang lebih baik. Makan kadal mungkin terdengar tidak enak, tapi jika itu membuat anda bertahan hidup di alam liar, itu merupakan solusi yang baik.
Untuk dapat memiliki perilaku positif untuk berpikir kreatif maka pada setiap individu siswa perlu ditumbuhkan sifat-sifat berikut:
a. Rasa ingin tahu
Orang kreatif ingin mengetahui segala hal- segalanya-hanya sekedar untuk ingin tahu. Pengetahuan tidak membutuhkan alasan.
b. Tantangan
Orang-orang kreatif suka mengidentifikasi dan mencari tantangan di balik gagasan, usulan, permasalahan, kepercayaan dan pendapat.
c. Ketidakpuasan terhadap apa yang ada
Ketika anda merasa tidak puas terhadap sesuatu, ketika anda melihat ada masalah, akankah anda mencoba memecahkan masalah dan memperbaiki keadaan. Semakin banyak masalah yang anda temui, semakin banyak pula pemecahan dan peningkatan yang dapat anda buat.
d. Keyakinan bahwa masalah pasti dapat dipecahkan
Dengan keyakinan dan didukung pengalaman, pemikir kreatif percaya bahwa sesuatu pasti dapat dilakukan untuk mengatasi masalah.
e. Kemampuan membedakan keputusan dan kritik.
Sebagian besar gagasan baru, karena masih baru dan asing, maka terlihat aneh, ganjil, bahkan, menjijikkan. Sebuah gagasan mulai tampak bagus ketika sudah lebih familiar atau dilihat dengan konteks dan batasan yang berbeda. Jika suatu gagasan paling gila sekalipun dapat dipraktekkan sebagai batu loncatan, gagasan tersebut efisien.
Untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, usaha yang baik untuk lakukan oleh guru adalah dengan meningkatkan lingkungan belajar yang kondusif dalam menunjang perkembangan kreativitas yakni lingkungan belajar yang secara langsung memberi peluang bagi kita untuk berpikir terbuka dan fleksibel tanpa adanya rasa takut atau malu. Sebagai contoh, Hasoubah (2002) memberikan gambaran situasi belajar yang dibentuk harus memfasilitasi terjadinya diskusi, mendorong seorang untuk memberikan ide dan pendapat. Diskusi seperti ini harus dilaksanakan sedemikian rupa di mana dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Melakukan brainstorming
Brainstorming adalah teknik yang bertujuan membantu kelompok kecil supaya dapat menghasilkan ide yang bermutu. Ia berdasar pada sebuah konsep bahwa ide yang baik harus dipisahkan dari penilaian atau evaluasi terhadap mutu ide tersebut. Karena itu, di dalam brainstorming : (1) tidak ada kritik terhadap ide apapun, (2) ide harus ditulis tanpa diedit, (3) ide yang liar, lucu, atau kurang berbobot dapat diterima, (4) semua jenis saran dan pendapat sangat diharapkan, dan (5) memberikan kontribusi berdasarkan pendapat dari orang lain dapat diterima
b. Memakai cara SHEMAP
Berpikir kreatif bisa menjadi sangat abstrak, karena itu sulit untuk melihat seseorang melakukannya. Berdasarkan hasil penelitian yang mengkaji fenomena ini seperti Universitas Negeri Iowa yang mengembangkan model HOTS (higher­order-thinking-skills atau kemampuan berpikir tingkat tinggi) sebagai mana dipaparkan Housobah (2002) menyebutkan bahwa berpikir kreatif tidak dapat dilihat, tetapi produk/hasil dari berpikir kreatif tersebut dapat di lihat. Dengan model HOTS ini seseorang dapat melangkah dari tingkatan ilmu yang sangat dasar kepada tingkatan ilmu umum (generative) yang dianggap sebagai suatu yang diciptakan dan baru. Maka kalau ilmu umum telah dihasilkan berarti proses berpikir kreatif telah terjadi.
Dari model HOTS ini, selanjutnya Hosaubah mengembangkan metode SHEMAP (Spekulasi- Hipotesis‑ Ekspansi- Modifikasi- Analogi‑ Prediksi). Sebagai contoh, ketika seseorang berspekulasi, apa manfaat mengambil mata kuliah di jurusan, Teknologi Guruan?. Pola pikir berspekulasi untuk mencari jawaban dari pernyataan tersebut adalah pola mengembangkan dan memodifikasi dalam bentuk cerita, hal ini bisa menghasilkan ide baru. Kalau dia harus membuat hipotesis terhadap apa yang akan terjadi seandainya rencana "pengambilan sidik jari oleh aparat keamanan terhadap para santri di pesantren yang dianggap menjadi sarang teroris", tindakan membuat hipotesis dan prediksi dapat menghasilkan ide yang baru. Terakhir adalah membuat analogi dan kreativitas. Ungkapan seperti ini " senyum Anda memberikan kehangatan sekaligus memberi sinar harapan bagi diri saya". Dengan membuat analogi senyum ibarat kehangatan secara jelas menjadikan seseorang berpikir kreatif.
c. Berpikir spasial
Seseorang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dengan (melakukan aktivitas) berpikir spasial. Berpikir spasial adalah berpikir dengan cara mengubah ide yang ditulis dalam bentuk prosa ke non prosa. Misalnya sebuah konsep atau teori yang ditulis dalam teks diubah menjadi sebuah diagram. Usaha mengubah forma atau penyajian ide, konsep, dan deskripsi keadaan tertentu sesuangguhnya merupakan sebuah kreativitas. Dengan menggunakan teknik brainsorming, SHEMAP, dan berpikir spasial akal seseorang dapat menjelajahi teritorial/wilayah yang tidak diketahui, “yang dengan sendirinya akan membangun kreativitas dan menjadikannya seorang pemikir kreatif”.
C. Penutup
Para guru perlu melakukan refleksi tentang cara mengajar mereka dalam mempersiapkan para siswa untuk dapat mempertahankan eksistensinya. Mereka tidak boleh berdiam diri saja. Karena, para pemuda ini kelak akan menjadi orang dewasa, akan menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan permasalahan. Siswa ini yang akan menjadi pemimpin di masa depan, mesti dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dan permasalahan hidup. Tantangan dan permasalahan inilah yang akan dihadapi oleh ‘pemikir’.
Menurut Dimyati (1996) salah satu unsur ilmu pengetahuan adalah items, yakni ilmu pengetahuan yang berwujud berpikir rasional. Realisasi berpikir rasional tampak pada penggunaan kata, kalimat, alenea, rumus pemecahan masalah, ataupun symbol-symbol. Prasyarat untuk mewujudkan items tersebut adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, memikir dan melakukan observasi (3M+O). Dengan kata lain persyaratan dimaksud adalah kemampuan urtuk berpikir kritis dan kreatif.
Ilmu pengetahuan adalah sistem berpikir tentang dunia empiris. Oleh karena itu pembelajaran perlu mengembangkan kemampuan berpikir rasional tentang dunia empiris. Dari sisi taksonomi berpikir, maka guruan-pembelajaran berarti mendidik berpikir pada tingkat kognitif tertentu. Dengan taksonomi Bloom (2002) misalnya, didikan berpikir kritis dan kreatif terletak ­pada tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi, tidak pada tingkat dibawahnya yakni mengingat, memahami, dan menerapkan. Kalau menggunakan taksonomi Merril (1983), didikan berpikir terletak pada tingkat menemukan, tidak pada tingkat dibawahnya yakni mengingat dan menggunakan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
  • Beyer, B.K. 1985. Critical Thinking: What is It? Social Education, 45 (4)
  • Brookfield- 1987. Developing Critical Thinkers. San Fransisco: Jossey Bass Publiser
  • Dimyati. 1988. Landasan Keguruan Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan Tentang Kegiatan Guruan. Dirjen Guruan Tinggi. Depdiknas.
  • Dimyati. 1996. Guruan Keilmuan di Indonesia: Suatu, Dilema Pengajaran dan Penelitian. Jurnal Guruan Humaniora dan Sains­. September. 2(1&2)
  • Drost, 2000. Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orang Tua, Jakarta. Gramedia Widisarana, Indonesia
  • Gie,The Liang. 2003. Teknik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta.
  • Hossoubafi,Z. Develoving Creative and Critical Thinking Skills (terjemahan) . 2004. Bandung: Yayasan Nuansa Cendia
  • Kamdi, W. 2002. Mengajar Berdasarkan Model Dimensi Belajar. Gentengkali: Jurnal Guruan Dasar dan Menengah. 4 (5 dan 6): 29-35
  • Marzano. 1988. Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria, Va: ASCD
  • Perkins,D.N. & Weber,R.J. 1992. Inventive Mind: Creative in Technology. New York: University Press
  • Rahmat, J. 2005. Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak. Bandung: Mizan Leraning Center (MLC)
  • Robert. 1998. Introduction to Creative Thinking. July (1). Virtual Salt.
  • Slavin. 1997. Educational Psycology Theory and Practice. Five Edition. Boston: Allin and Bacon

0 komentar:

Posting Komentar