Seperti yang dimuat dalam Kamus Bahasa Indonesia, Pendidikan berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik"
artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi
latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak
dan kecerdasan pikiran.
Setiap orang pasti butuh pendidikan.
Mungkin banyak diantara kita yang menerjemahkan pendidikan adalah suatu
kegiatan belajar dan mengajar secara formal, seperti masuk TK,
SD,SMP,SMA,PERGURUAN TINGGI, namun pendidikan sebenarnya bukan hanya di
lakukan secara formal. Tetapi pendidikan bisa juga di lakukan secara
non formal, seperti mendidik anak di dalam keluarga. Anak butuh
pendidikan untk mengetahui apa yang belum di ketahuinya. Setiap orang
pasti punya rasa ingin tau. Dengan rasa ingin tau tersebut maka
seseorang membutuhkan pendidikan. Dengan adanya pendidikan maka
seseorang bisa mengetahui apa yang sebelumnya dia tidak tau sehingga ia
menjadi tau.
Dengan semakin berkembangnya dunia
pendidikan pada saat ini yang terus berubah dengan signifikan sehingga
banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku
menjadi lebih modern, oleh karena itu pendidikan terutama pendidikan
formal akan semakin penting. Dengan semakin berkembangnya zaman saat ini
maka kita juga dituntut untuk mendalami dunia pendidikan, jika kita
tidak mendalami pendidikan maka kita akan tertinggal masalah pendidikan.
Meskipun pendidikan sudah semakin berkembang namun sangat di sayangkan
masih banyaknya anak-anak masih dalam usia pendidikan khususnya
pendidikan formal yang tidak bisa sekolah. Ini disebabkan oleh berbagai
hal diantaranya faktor ekonomi keluarga. Dengan kondisi keuangan
keluarga yang kurang Sehingga mereka tidak bisa masuk ke pendidikan
formal.
Menuntut ilmu tiada batasnya baik
dimasa muda maupun dimasa tua. Selagi kita masih diberi kesempatan
untuk menuntut ilmu maka kita pergunakanlah kesempatan tersebut untuk
mendapatkan pengetahuan.
Mari sama-sama kita meningkatkan
mutu pendidikan di negeri ini. masa depan dunia ada pada mutu
pendidikan, jika mutu pendidikan di negeri ini tidak bagus maka
kedepannya negeri ini juga tidak bagus. Tetapi jika mutu pendidikan di
negeri ini bagus maka kedepannya negeri ini akan bagus.
Dunia
senantiasa mengalami perubahan, begitu pula dengan manusia. Perubahan
memang tidak dapat kita hindari, akan tetapi bukan berarti harus
menghilangkan sama sekali nilai-nilai lama. Kuno tidak selamanya jelek,
modern tidak selamanya baik. Dengan mempelajari sejarah kita akan dapat
menyerap nilai-nilai positif lantas mengembangkannya agar bisa sesuai
dengan kondisi jaman.
Dewasa
ini setiap orang berlomba-lomba untuk dapat menimba ilmu setinggi
bintang di langit. Jika ada s4/s5 tentunya orang tidak akan puas lagi
dengan hanya memiliki gelar sebagai professor/guru besar. Banyak sekali
motivasi orang untuk menimba ilmu setinggi-tingginya, salah satu yang
paling umum adalah untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Memiliki pendidikan yang lebih tinggi maka kesempatan berkarya akan
lebih luas.
Ada pepatah dalam bahasa mandarin yang berbunyi xue hai wu ya huo dao lao xue dao lao 学海无涯,活到老,学到老,bisa
diterjemahkan dalam bahasa indonesia kurang lebih begini: "Belajar itu
tiada batasnya, hidup sampai tua, belajar sampai tua". Dengan demikian
orang-orang kuno sebenarnya memiliki pandangan yang sangat luas &
mendalam tentang belajar. Seseorang seumur hidupnya harus belajar,
belajar itu tidak mengenal tempat & waktu.
Dalam
masyarakat tionghua masa lalu juga dikenal adanya kasta, ada 4 kasta. 4
kasta di urutkan dari yang teratas ke yang terendah adalah: golongan
pelajar, golongan petani, golongan tukang, golongan pedagang. Pedagang
berada pada urutan terakhir karena selalu membicarakan untung-rugi.
Pelajar menempati urutan teratas karena dinilai memiliki budi pekerti
yang luhur.
Dalam kitab kuno 3 Aksara 三字经
diuraikan bahwa sebelum seseorang mempelajari ilmu pengetahuan terlebih
dahulu harus belajar bagaimana berbakti kepada orang tua, antar saudara
bisa harmonis. Bahkan dalam kitab Lun Yu 论语 jelas
dikatakan: Seseorang walau tidak memiliki pengetahuan yang luas akan
tetapi dapat mempraktekkan bagaimana menjadi manusia yang seutuhnya,
memiliki budi pekerti dapat disebut sebagai seorang terpelajar.
Ilmu
pengetahuan diperoleh dari bangku pendidikan formal. Bebicara tentang
pendidikan formal, dewasa ini ada banyak pihak yang terkait. Pemerintah
memang berkewajiban untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai,
tapi bukan berarti pihak yang lain lantas lepas tangan & terus
mengkritik pemerintah tiada habis. Masih ada 3 pihak selain pemerintah
yang ikut menentukan proses pendidikan bisa berhasil/tidak, yaitu: orang
tua, guru, diri kita sendiri sebagai murid.
Adalah
suatu kesalahan bagi orang tua jika ia hanya mampu memberi makan kepada
anak-anaknya tanpa memberikan pendidikan yang cukup. Ada pepatah dalam
bahasa mandari yang berbunyi: yang er dai lao ji gu fang ji, yanng zi bu jiao bu ru yang li, yang nu bu jiao bu ru yang zhu 养儿待老,积谷防饥。养子不教,不如养驴。养女不教,不如养猪。“Membesarkan
anak agar mempunyai sandaran di hari tua, menyimpan biji-bijian untuk
mengantisipasi datangnya bahaya kelaparan. Membesarkan anak lelaki tanpa
mendidik, lebih parah daripada memelihara seekor keledai. Membesarkan
anak perempuan tanpa mendidik, lebih parah daripada memelihara seekor
babi. Orang tua walau dalam keadaan yang serba terbatas senantiasa
mencarikan sekolah yang terbaik untuk kita“.
Coba mari kita renungkan, dulu kita waktu daftar SMP, SMA, kuliah masuk
kategori apa, berapa banyak uang yang telah mereka keluarkan demi kita?
Sudahkah kita berusaha maksimal untuk mencapai kategori teratas demi
meringankan beban ortu?
Tugas
guru ada 2 yaitu mengajar & mendidik. Mengajar jauh lebih mudah
daripada mendidik. Mendidik membutuhkan proses yang panjang, sedangkan
mengajar hasilnya bisa langsung terlihat. Mengajar cukup berbagi
pengetahuan dengan murid, mendidik itu menanamkan nilai-nilai positif.
Dulu sewaktu smp di sekolah jika ada yang ketahuan mengeluarkan
kata-kata jorok, tidak akan dihukum ”berat”. Mereka cukup di suruh kumur
dengan air sebanyak satu ember besar. Ini adalah nilai-nilai mendidik.
Dengan adanya hukuman tersebut para guru ke depannya mengharapkan agar
kelak kita tidak sembarangan berkata kotor.
Terakhir
adalah kita sendiri. Manusia dilahirkan sama, kelak mau menjadi
pandai/tidak tergantung diri kita sendiri. Jika pemerintah sudah
memberikan pelayanan yang terbaik, orang tua sudah memberikan dukungan
penuh, guru sudah berjerih payah jika masih kurang berhasil salahkan
diri sendiri.
Artikel
diatas adalah kiriman dari Xie Zheng Ming. Bagi kalian yang mempunyai
artikel menarik seputar ajaran Kong Zi, cerita budi pekerti, dsb dapat
mengirimkan ke alamat email: meandconfucius@gmail.com. Thanks
Sebagian besar pembaca, mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi yang sulit
sehingga kaya dengan berbagai peribahasa seperti: Hemat Pangkal Kaya dan Rajin
Pangkal Pandai. Kita bermain layang-layang di antara pematang sawah yang tiada
batasnya, menangkap belut di antara lumpur-lumpur sungai yang airnya bening,
bermain bersama anak-anak kampung dengan tiada henti canda, tawa, dan keringat.
Bagaimana anak-anak kita sekarang? Lahan-lahan kosong telah berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah. Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Pestisida dan pupuk kimia merusak tanah. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook, Twitter, online games, warnet, dan bimbel. Pergaulan fisik diganti oleh dunia maya, statistic, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita?
Bukannya dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?" minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena anaknya yang belajar di MI (Madrasah Ibtidaiyah) diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran. Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit"The Power of Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan".
Bukan hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan karier masa depan. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang "sakral", wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu saja, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan. Bukan belajar dari sejarah, tetapi pengetahuan tentang sejarah. Bukan akhlak dan moral dalam beragama, melainkan hafalan ayat. Dan bukan logika matematika, melainkan bagaimana menurunkan rumus. Lengkaplah penderitaan anak-anak kita.
Ubah Cara Pandang
Namun sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, Cina, dan New Zealand, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang,”. Kalau dibuat mudah, bagi orang tua ini, maka sekolah tak akan menghasilkan apa-apa. Saya dapat mengerti pandangan ini karena anaknya termasuk anak yg cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi. Namun saya kurang mengerti bagaimana orangtua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar.
Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang bingung, tahu semua tapi selalu bertanya "saya harus melakukan apa?" ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang yang tak bisa bekerja dengan prioritas. Anda mungkin pernah mendengar ucapan Stephen Covey, "Dahulukanlah Yang Utama". Atau seperti kata Maxwell, "Bekerjalah dengan prioritas karena 80% hasil yang engkau capai hanya berasal dari 20% upayamu." Orang yang ingin menuntaskan semua tugas (dan banyak) bisa bagus di ijazah tapi bisa bingung dalam kehidupan. Kata para ulama, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Tetapi seperti Michael Jackson yang sudah sempurna, manusia selalu ingin lebih sempurna lagi, sampai akhirnya rusaklah wajah, tubuh dan kesehatan jiwanya.
Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah talenta harus diasah, diberi ruang ,dan waktu agar ia tumbuh . Leadershipmaupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.
Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping apakah benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karir sebagai penguji di program S3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi Semua penguji tidak puas, kandidat digoreng kekiri, diongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya,"beginikah cara bapak-bapak menguji seorang calon doktor?"
Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik. Karena malu telah berta-kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri. Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan.
Sayapun mengatakan andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus. Pertanyaan ujian terlalu luas. Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di Indonesia, kalau kita membantu mahasiswa kita dianggap berkolusi. Di SLTA negara-negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.
Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.
Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan TKW yang Sekolah Dasarnya ditempuh dengan sama beratnya dengan para dokter saja hanya berakhir di ujung kesulitan. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita?
Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar 6 mata pelajaran seperti di New Zealand, Denmark atau negara-negara industri lainnya? Namun fakta yang saya temui, ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan New Zealand terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?
Bagaimana anak-anak kita sekarang? Lahan-lahan kosong telah berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah. Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Pestisida dan pupuk kimia merusak tanah. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook, Twitter, online games, warnet, dan bimbel. Pergaulan fisik diganti oleh dunia maya, statistic, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita?
Bukannya dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?" minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena anaknya yang belajar di MI (Madrasah Ibtidaiyah) diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran. Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit"The Power of Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan".
Bukan hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan karier masa depan. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang "sakral", wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu saja, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan. Bukan belajar dari sejarah, tetapi pengetahuan tentang sejarah. Bukan akhlak dan moral dalam beragama, melainkan hafalan ayat. Dan bukan logika matematika, melainkan bagaimana menurunkan rumus. Lengkaplah penderitaan anak-anak kita.
Ubah Cara Pandang
Namun sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, Cina, dan New Zealand, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang,”. Kalau dibuat mudah, bagi orang tua ini, maka sekolah tak akan menghasilkan apa-apa. Saya dapat mengerti pandangan ini karena anaknya termasuk anak yg cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi. Namun saya kurang mengerti bagaimana orangtua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar.
Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang bingung, tahu semua tapi selalu bertanya "saya harus melakukan apa?" ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang yang tak bisa bekerja dengan prioritas. Anda mungkin pernah mendengar ucapan Stephen Covey, "Dahulukanlah Yang Utama". Atau seperti kata Maxwell, "Bekerjalah dengan prioritas karena 80% hasil yang engkau capai hanya berasal dari 20% upayamu." Orang yang ingin menuntaskan semua tugas (dan banyak) bisa bagus di ijazah tapi bisa bingung dalam kehidupan. Kata para ulama, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Tetapi seperti Michael Jackson yang sudah sempurna, manusia selalu ingin lebih sempurna lagi, sampai akhirnya rusaklah wajah, tubuh dan kesehatan jiwanya.
Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah talenta harus diasah, diberi ruang ,dan waktu agar ia tumbuh . Leadershipmaupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.
Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping apakah benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karir sebagai penguji di program S3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi Semua penguji tidak puas, kandidat digoreng kekiri, diongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya,"beginikah cara bapak-bapak menguji seorang calon doktor?"
Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik. Karena malu telah berta-kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri. Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan.
Sayapun mengatakan andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus. Pertanyaan ujian terlalu luas. Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di Indonesia, kalau kita membantu mahasiswa kita dianggap berkolusi. Di SLTA negara-negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.
Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.
Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan TKW yang Sekolah Dasarnya ditempuh dengan sama beratnya dengan para dokter saja hanya berakhir di ujung kesulitan. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita?
Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar 6 mata pelajaran seperti di New Zealand, Denmark atau negara-negara industri lainnya? Namun fakta yang saya temui, ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan New Zealand terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?
0 komentar:
Posting Komentar