RASULULLAH Shalallahu
'alaihi wa sallam adalah sosok manusia yang sempurna. Di medan perang
beliau adalah seorang jenderal profesional yang menguasai taktik dan
strategi bertempur. Di tengah masyarakat, beliau adalah teman, sahabat,
guru, dan sosok pemimpin yang menyenangkan. Di rumah, beliau adalah
seorang kepala rumah tangga yang bisa mendatangkan rasa aman, kasih
sayang, sekaligus kebahagiaan.
Beliau adalah sosok yang romantis. Beliau biasa memanggil isterinya ‘Aisyah dengan panggilan yang indah: Ya Humaira (wahai si merah jambu). Wanita mana yang tidak tersanjung saat dipanggil suaminya dengan panggilan ini? Telinga siapa yang tidak ingin mendengar sapaan seperti ini?
Tapi keindahan itu tercipta bukan karena beliau ahli merayu, melainkan karena hati beliau memang bersih, bening, dan indah. Dari hati yang indah itulah keluar kata-kata, perilaku, dan sikap yang indah. Dari keindahan hati itulah terpancar segala keindahan dari setiap yang dipandang dan ditemuinya.
Memang, betapa indah hari-hari kehidupan di mata Rasulullah. Romantisme tidak hanya berlaku kepada isteri-isterinya, juga anak-anak bahkan nenek-nenek dan semua makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala lainnya pun merasakannya.
Begitu dekatnya Rasulullah dengan unsur-unsur di alam sekitar. Setiap berhadapan dengannya beliau kerap menyapanya dengan ungkapan: Rabbiy wa Rabbukallaah (Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah).
Ketika melihat sekuntum bunga yang mulai terbuka kelopaknya, kalbunya bergetar, hatinya bersuka cita, dan segera beliau mendatanginya, mencium dengan bibirnya, dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Tak lupa beliau mengucapkan: “A-mu khairin wa barakatin insya Allah” (tahun baik dan penuh berkah, insya Allah).
Demikian pula ketika beliau mendapati bulan sabit di awal-awal malam kemunculannya, beliau tak lupa menyambutnya dengan sukacita. Dengan penuh optimis beliau bercakap tentangnya: hilaalu khairin wa baarakatin insya-Allah (awal bulan yang baik dan penuh berkah, insya-Allah).
Setelah menyambut dengan tahni’ah (ungkapan kegembiraan), beliau juga tak lupa berdoa: Allahumma ahillahu ‘alaina bilyumni wal iimaani wassaalamati wal islaami (Ya Allah, jadikan permulaan bulan ini membawa keuntungan, iman, keselamatan, dan Islam).
Perpektif wahyu
Apa bedanya bulan yang dilakukan Rasulullah empat belas abad yang lampau dengan yang kita lakukan setiap saat? Bukan bulannya yang beda, tapi cara pandangnya yang berbeda.
Rasulullah memandangnya dengan cahaya iman, sedang kita mungkin memandangnya dengan hati yang masih ragu. Rasulullah melihat di balik bulan ada kebesaran Allah, sedang kita melihat bulan tidak lebih dari sekadar materinya. Beliau melihat bulan dari perspektif waktu yang akan datang (dengan visi), sedang kita melihatnya sakadar dengan “menghitung hari”.
Diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apa yang diperbuat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu di rumah?”, Aisyah menjawab, “Ia melakukan seperti yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember.”
Aisyah mengatakan, “Orang-orang Habasyah masuk ke dalam masjid untuk bermain (latihan berpedang), maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku ‘wahai khumaira (panggilan sayang untuk Aisyah), apakah engkau ingin meihat mereka?’, aku menjawab, ‘iya’. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdiri di pintu, lalu aku mendatanginya dan aku letakkan daguku di atas pundaknya kemudian aku sandarkan wajahku di pipinya. (setelah agak lama) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, ‘sudah cukup (engkau melihat mereka bermain)’, aku menjawab, ‘wahai Rasulullah, jangan terburu-buru’, lalu beliau (tetap) berdiri untukku agar aku bisa terus melihat mereka. Kemudian ia bertanya lagi, ‘sudah cukup’, aku pun menjawab, ‘wahai Rasulullah, jangan terburu-buru’. Aisyah berkata, ‘Sebenarnya aku tidak ingin terus melihat mereka bermain, akan tetapi aku ingin para wanita tahu bagaimana kedudukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di sisiku dan kedudukanku di sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Aisyah menceritakan kisah yang indah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di mana beliau dengan sabar mendengarkan kisah tersebut Aisyah padahal kisahnya panjang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memotong pembicaraan Aisyah, padahal beliau memiliki kesibukkan yang sangat banyak, banyak urusan penting yang harus beliau tunaikan.
Ada lagi yang tak kalah menakjubkan. Diceritkan dari Aisyah r.a., dia berkata, “Aku pernah tidur bersama Rasulullah di atas satu tikar ketika aku sedang haid. Apabila darahku menitis di atas tikar itu, Baginda mencucinya pada bahagian yang terkena titisan darah dan baginda tidak berpindah dari tempat itu, kemudian beliau sembahyang di tempat itu pula, lalu Baginda berbaring kembali di sisiku. Apabila darahku menitis lagi di atas tikar itu, Baginda mencuci pada bahagian yang terkena titisan darah itu saja dan tidak berpindah dari tempat itu, kemudian baginda pun sembahyang di atas tikar itu.” (Hadits Riwayat Nasai)
Bisakah kita menghadapi pasangan sebagaimana Nabi?
Mari kita tatap dunia ini dengan senyum, sebagai pertanda bahwa kita bersyukur dan berterimakasih kepada Allah Subhanahu Wata’ala karena bulan dan matahari masih dipergilirkan, siang dan malam masih terus berputar. Ada waktu untuk berbuat dan beramal.
Mari kita tatap masa depan dengan penuh harapan. Tersenyumlah, sebagaimana Rasulullah selalu tersenyum. Bahagiakan pasangan Anda, sebagaimana Rasulullah suka menyenangkan pasanganya.
Tersenyumlah dan sapalah isteri dan suami Anda dengan sukacita sebagaimana beliau selalu melahirkan kebahagiaan kepada keluarga dan sesama manusia.*
Beliau adalah sosok yang romantis. Beliau biasa memanggil isterinya ‘Aisyah dengan panggilan yang indah: Ya Humaira (wahai si merah jambu). Wanita mana yang tidak tersanjung saat dipanggil suaminya dengan panggilan ini? Telinga siapa yang tidak ingin mendengar sapaan seperti ini?
Tapi keindahan itu tercipta bukan karena beliau ahli merayu, melainkan karena hati beliau memang bersih, bening, dan indah. Dari hati yang indah itulah keluar kata-kata, perilaku, dan sikap yang indah. Dari keindahan hati itulah terpancar segala keindahan dari setiap yang dipandang dan ditemuinya.
Memang, betapa indah hari-hari kehidupan di mata Rasulullah. Romantisme tidak hanya berlaku kepada isteri-isterinya, juga anak-anak bahkan nenek-nenek dan semua makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala lainnya pun merasakannya.
Begitu dekatnya Rasulullah dengan unsur-unsur di alam sekitar. Setiap berhadapan dengannya beliau kerap menyapanya dengan ungkapan: Rabbiy wa Rabbukallaah (Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah).
Ketika melihat sekuntum bunga yang mulai terbuka kelopaknya, kalbunya bergetar, hatinya bersuka cita, dan segera beliau mendatanginya, mencium dengan bibirnya, dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Tak lupa beliau mengucapkan: “A-mu khairin wa barakatin insya Allah” (tahun baik dan penuh berkah, insya Allah).
Demikian pula ketika beliau mendapati bulan sabit di awal-awal malam kemunculannya, beliau tak lupa menyambutnya dengan sukacita. Dengan penuh optimis beliau bercakap tentangnya: hilaalu khairin wa baarakatin insya-Allah (awal bulan yang baik dan penuh berkah, insya-Allah).
Setelah menyambut dengan tahni’ah (ungkapan kegembiraan), beliau juga tak lupa berdoa: Allahumma ahillahu ‘alaina bilyumni wal iimaani wassaalamati wal islaami (Ya Allah, jadikan permulaan bulan ini membawa keuntungan, iman, keselamatan, dan Islam).
Perpektif wahyu
Apa bedanya bulan yang dilakukan Rasulullah empat belas abad yang lampau dengan yang kita lakukan setiap saat? Bukan bulannya yang beda, tapi cara pandangnya yang berbeda.
Rasulullah memandangnya dengan cahaya iman, sedang kita mungkin memandangnya dengan hati yang masih ragu. Rasulullah melihat di balik bulan ada kebesaran Allah, sedang kita melihat bulan tidak lebih dari sekadar materinya. Beliau melihat bulan dari perspektif waktu yang akan datang (dengan visi), sedang kita melihatnya sakadar dengan “menghitung hari”.
Diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apa yang diperbuat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu di rumah?”, Aisyah menjawab, “Ia melakukan seperti yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember.”
Aisyah mengatakan, “Orang-orang Habasyah masuk ke dalam masjid untuk bermain (latihan berpedang), maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku ‘wahai khumaira (panggilan sayang untuk Aisyah), apakah engkau ingin meihat mereka?’, aku menjawab, ‘iya’. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdiri di pintu, lalu aku mendatanginya dan aku letakkan daguku di atas pundaknya kemudian aku sandarkan wajahku di pipinya. (setelah agak lama) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, ‘sudah cukup (engkau melihat mereka bermain)’, aku menjawab, ‘wahai Rasulullah, jangan terburu-buru’, lalu beliau (tetap) berdiri untukku agar aku bisa terus melihat mereka. Kemudian ia bertanya lagi, ‘sudah cukup’, aku pun menjawab, ‘wahai Rasulullah, jangan terburu-buru’. Aisyah berkata, ‘Sebenarnya aku tidak ingin terus melihat mereka bermain, akan tetapi aku ingin para wanita tahu bagaimana kedudukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di sisiku dan kedudukanku di sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Aisyah menceritakan kisah yang indah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di mana beliau dengan sabar mendengarkan kisah tersebut Aisyah padahal kisahnya panjang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memotong pembicaraan Aisyah, padahal beliau memiliki kesibukkan yang sangat banyak, banyak urusan penting yang harus beliau tunaikan.
Ada lagi yang tak kalah menakjubkan. Diceritkan dari Aisyah r.a., dia berkata, “Aku pernah tidur bersama Rasulullah di atas satu tikar ketika aku sedang haid. Apabila darahku menitis di atas tikar itu, Baginda mencucinya pada bahagian yang terkena titisan darah dan baginda tidak berpindah dari tempat itu, kemudian beliau sembahyang di tempat itu pula, lalu Baginda berbaring kembali di sisiku. Apabila darahku menitis lagi di atas tikar itu, Baginda mencuci pada bahagian yang terkena titisan darah itu saja dan tidak berpindah dari tempat itu, kemudian baginda pun sembahyang di atas tikar itu.” (Hadits Riwayat Nasai)
Bisakah kita menghadapi pasangan sebagaimana Nabi?
Mari kita tatap dunia ini dengan senyum, sebagai pertanda bahwa kita bersyukur dan berterimakasih kepada Allah Subhanahu Wata’ala karena bulan dan matahari masih dipergilirkan, siang dan malam masih terus berputar. Ada waktu untuk berbuat dan beramal.
Mari kita tatap masa depan dengan penuh harapan. Tersenyumlah, sebagaimana Rasulullah selalu tersenyum. Bahagiakan pasangan Anda, sebagaimana Rasulullah suka menyenangkan pasanganya.
Tersenyumlah dan sapalah isteri dan suami Anda dengan sukacita sebagaimana beliau selalu melahirkan kebahagiaan kepada keluarga dan sesama manusia.*
0 komentar:
Posting Komentar